Senin, 05 Maret 2012

Tarian Angka


Oleh: Purkon Hidayat

Kekuatan angka telah begitu deras merasuk ke dalam tubuh kehidupan umat manusia, bahkan menelusup  ke setiap tulang sendi hingga merembes ke sumsum kesadaran dan ubun-ubun keberakalan. Yang berlaku saat ini adalah besaran kuantitas, besar-kecil, banyak-sedikit, menyisihkan besaran kualitas; baik buruk, benar-salah. Kini, lalu lintas arus informasi yang hilir mudik di kepala kita telah dibingkai dengan kacamata angka tersebut.

Di tingkat masyarakat, cara berpikir angka telah begitu mengakar hingga segala sesuatu berujung pada angka bernama uang alias ‘UUD', ujung-ujungnya duit. "Ah ngapain sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya juga tetap nyari duit kan ?"
Lebih dari itu, angka telah dijadikan sebagai sebuah bahasa adi luhung untuk membenarkan sebuah keputusan baik di tingkat paling sederhana hingga kebijakan pemerintahan. Semua ini seolah membenarkan sabda bapak utilitarianisme, Jeremy Bentham, "Kebahagiaan terbesar dari kuantitas terbesar adalah dasar dari prinsip moral dan aturan."

Dewasa ini, angka telah didaulat menjadi sebuah metode terbaik untuk memahami dunia. Tidak sedikit para ekonom dan pengamat sosial begitu mudah terjebak pada angka-angka kuantitatif yang menyisihkan, bahkan tidak memberikan ruang bagi pembacaan kualitatif.

Besaran seperti Produk domestik bruto (PDB) dan laju pertumbuhan ekonomi menjadi tolak ukur pembangunan sebuah negara dan menggerus faktor lain yang mungkin lebih penting.

Selama beberapa dekade, model tersebut mengacu pada penerapan di negara Barat seperti AS. Belakangan model ini terbukti keliru. Sebab tidak mempertimbangkan membengkaknya utang negara  yang memicu bom waktu pailit yang akan meledak memporakporandakan segalanya.

Kini, utang negara yang membumbung tinggi menjadi masalah paling pelik yang dihadapi Obama untuk mempertaruhkan dukungan menjadi orang nomor satu di Negeri Paman Sam itu untuk kedua kalinya.

Departemen keuangan AS dalam laporan terbarunya yang diterbitkan akhir September mengungkapkan bahwa utang negara ini menembus $14,3 triliun. Diprediksi pada tahun 2015 akan meroket mencapai $20 triliun.

Pertemuan Forum Ekonomi Eropa yang digelar tidak lama setelah dunia dihantam gelombang krisis 2008, terang-terangan mengkritik kebijakan sejumlah negara Eropa yang menjadikan AS sebagai model pembangunan ekonomi dengan parameter kenaikan PDB yang tinggi.

Di level teoritis, ukuran-ukuran statistik-matematis ternyata terbukti telah banyak dikritik karena menyajikan data yang menipu. Bahkan ekonom semacam John Kenneth Galbraith secara sarkastik menuding ilmu ekonomi merupakan penipuan terselubung yang diyakini sebagai realitas.

Soal PDB tinggi, muncul sebuah masalah mendasar. Struktur sosial mana yang menikmati kenaikan angka-angka itu? Apakah rakyat jelata yang merupakan mayoritas seperti di Tanah Air, ataukah segelintir orang yang pendapatannya lebih besar dari pendapatan median warga ?

Terdapat kesenjangan antara pendapatan perkapita dari rata-rata dengan pendapatan median (pendapatan individu yang mewakili). Boleh jadi pendapat yang besar itu hanya dimiliki oleh segelintir orang saja bukan kebanyakan rakyat.
Tingginya tingkat investasi dan kenaikan pertumbuhan ekonomi yang fantastis acapkali tidak berhubungan langsung dengan kesejahteraan itu sendiri.

Salah satu bukti yang paling nyata adalah kasus pengalihan subsidi yang dipercaya oleh banyak ekonom akan berdampak positif menurunkan jumlah kemiskinan. Benar, jika ditilik dari jejak angka hasil simulasi, tidak ditemukan fakta bahwa pengalihan subsidi akan berdampak negatif. Namun, ada yang luput dari logika angka ini. Deretan angka tersebut adalah fakta tidak berjiwa, karena mengalami penyederhanaan.

Meroketnya angka pertumbuhan ekonomi juga telah mengecoh perekonomian banyak negara dunia termasuk Indonesia. Lembaga donor internasional seperti World Bank pernah menobatkan Indonesia sebagai The Asian Miracle karena tingkat pertumbuhan ekonominya yang menembus 7%. Tapi, ternyata pujian itu menikam dari dalam. Buktinya, perekonomian Indonesia limbung dihajar krisis ekonomi tahun 2007.

Tidak lama kemudian, World Bank dan IMF merevisi pujiannya dan menyebut terjadinya kekeliruan selama ini. Stiglitz dalam bukunya Globalization and its Discontents menunjukkan sejumlah kekeliruan atas resep yang dipaksakan lembaga donor seperti IMF terhadap Indonesia.

Di tengah hiruk-pikuk tarian angka yang berseliweran di kepala, kini saatnya meninjau kembali rasionalitas dengan mencari makna yang lebih jauh dari sekedar angka belaka.

Sejatinya, angka adalah garis dan titik dari peta yang tidak perlu dipuja menjadi segalanya, apalagi menjadi sebuah bahasa kebenaran yang mengalahkan akal sehat dan rasionalitas kita.(PH)

0 komentar:

Posting Komentar