Kamis, 08 Maret 2012

Perangi Kemisminan dengan Mencabut Akarnya


Kalau sekadar mengurangi kemiskinan, pemerintah bisa saja memberikan bantuan langsung tunai (BLT), pelayanan kesehatan, dan pendidikan dasar gratis. Namun, itu saja tak cukup. Hal yang harus dilakukan adalah memerangi akar-akar kemiskinan dengan membangun sektor-sektor produktif dan fokus pada perdesaan.

Masih ada pekerjaan besar bangsa ini yang harus segera diselesaikan, yakni bagaimana menekan high cost economy– ekonomi biaya tinggi — yang sangat memberatkan kalangan dunia usaha. Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan di 37 kota/ kabupaten di Pulau Jawa, dana suap atau dana siluman untuk memuluskan sebuah proses bisnis, ternyata mencapai 6,5% dari keseluruhan biaya produksi. Artinya, dari setiap Rp 100 ribu biaya produksi, maka Rp 6.500 di antaranya merupakan komponen biaya suap.

Dengan kondisi seperti ini, wajar jika daya saing dan produktivitas bangsa berkurang. Jika saja suap atau korupsi ini bisa dieliminasi secara total boleh jadi angka pertumbuhan ekonomi akan mencapai dua digit. Indonesia akan menjadi tempat tujuan investasi yang utama mengalahkan Malaysia dan Singapura. Pada gilirannya rakyat miskin pun akan berkurang dan kesejahteraan ekonomi yang merata dan berkeadilan akan cepat tercapai.

APBN Kian Mandul 

Memang cukup menggembirakan bahwa dalam beberapa tahun belakangan ini pertumbuhan ekonomi tetap terjaga ketika sejumlah Negara lain di dunia melemah. Pada 2010, misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,1% dan meningkat lagi menjadi 6,5% pada 2011.

Pendapatan perkapita pun naik lumayan, telah mencapai di atas US$ 3.500. Angka kemiskinan dan tingkat pengangguran juga turun. Masih cukup banyak data lainnya yang menunjukkan bahwa perekonomian kita mengalami perbaikan. Namun, mengapa persepsi masyarakat berdasarkan berbagai survey mengindikasikan bahwa keadaan semakin sulit? Mengapa pedagang kaki lima kian menjamur di kota-kota besar?

Mengapa preman merajalela? Mengapa semakin banyak saja tenaga kerja Indonesia terpaksa mengadu nasib di luar negeri dengan taruhan nyawa sekalipun? Tentu ada yang salah dari proses pembangunan yang kita lakukan di mana dari luar tampak ada perbaikan, tapi perbaikan perlu dipertanyakan dari segi kualitasnnya. Kalau saja pertumbuhan ekonomi cukup berkualitas, tentu tak akan banyak muncul anomali ataupun kontradiksi. Salah satu penyebab utama rendahnya kualitas pertumbuhan adalah korupsi.

Praktik-praktik korupsi di segala lini kehidupan menyebabkan investasi terhambat. Pengusaha membutuhkan dana lebih besar untuk menjalankan usahanya. Di masa Orde Baru yang kita yakini tingkat korupsinya sangat parah, pengusaha masih bisa meraup laba karena persaingan dari luar negeri dibatasi dengan berbagai bentuk perlindungan.

Korupsi juga menyebabkan kualitas infrastruktur rendah. Teramat mudah kita temukan dengan kasat mata: jalan yang mudah berlubang dan menjelma menjadi kubangan, jalan khusus bus Transjakarta, dan bangunan-bangunan pemerintah. Ongkos pemeliharaan jadi mahal sehingga mengorbankan anggaran yang sepatutnya lebih banyak dialokasikan untuk orang miskin.

Agaknya tak berlebihan kalau kita kian meyakini bahwa sumber kebocoran terbesar adalah dari penerimaan perpajakan. Bagaimana mungkin nisbah penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto justru mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir dibandingkan dengan selama lima tahun sebelumnya berturut-turut.
Dengan penurunan penerimaan pajak, peran pemerintah untuk melayani rakyat melemah. Porsi pengeluaran pemerintah di dalam produk domestik bruto tak kunjung menembus 10%. Padahal, di negara yang sangat liberal seperti Amerika Serikat sekalipun, porsinya mencapai 20%.

Bukankah menyerahkan kegiatan ekonomi pada mekanisme pasar juga mensyaratkan hadirnya peran Negara yang lebih kuat, terutama dalam menciptakan jaring-jaring pengaman pasar agar kelompok-kelompok yang rentan bisa terlindungi. Jaring-jaring pengaman pasar wajib ada dan melekat di dalam sistem pasar. Dana untuk itu dari mana lagi kalau bukan dari pajak, yang merupakan perangkat untuk meredistribusikan pendapatan dari yang lebih mampu ke yang kurang mampu.

Kalau begini terus, anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) kian mandul untuk memberdayakan rakyat. Tanda-tandanya mulai tampak. Tahun 2010 lalu kita sudah mengalami defisit dalam keseimbangan  primer (penerimaan Negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang). Defisit keseimbangan primer baru pertama kali terjadi dalam 10 tahun terakhir. APBN yang kian mandul berdampak pula pada pelemahan kemampuan pemerintah untuk menyuntikkan dana segar ke sektor-sektor yang seharusnya memperoleh prioritas, seperti sektor pertanian dan/atau perdesaan.

Bagaimana mungkin hendak memerangi kemiskinan jika basis kemiskinan yang notabene ada di pedesaan—hampir dua per tiga penduduk miskin ada di desa—tak kunjung disentuh dengan serius. Justru sektor pertanian kian terbebani karena sumbangsih sektor industri manufaktur—yang seharusnya jadi pengimbang—terus saja menurun. Terbebani karena pilihan bagi pencari kerja adalah kembali ke sektor pertanian atau memadati sektor informal. Karena itu, pekerja informal bertambah banyak, sekitar 70% dari semua orang yang bekerja. Tak diragukan lagi, pertumbuhan gagal menciptakan lapangan kerja yang berkualitas.

Peran Aktif Negara 

Pertumbuhan yang tidak berkualitas akan membuat hampir separuh penduduk rentan terhadap gejolak ekonomi. Sedikit saja harga-harga pangan naik, penduduk yang tadinya nyaris miskin akan benar-benar menjadi miskin. Mereka tak akan mampu lagi menopang kebutuhan hidup minimumnya: 2.100 kalori per kapita sehari ditambah dengan pendidikan dasar dan kesehatan dasar.

Makanya, untuk memacu pertumbuhan berkualitas, langkah yang paling tepat adalah dengan menciptakan lapangan kerja bermutu. Untuk itu, tak ada pilihan lain kecuali memberdayakan sektor pertanian, membangun perdesaan dengan sungguh-sungguh, dan memacu industrialisasi.

Menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar saja tak cukup. Peran aktif negara harus lebih mengedepan. Dengan memberantas korupsi, peran negara niscaya akan lebih mumpuni. Plus, perubahan paradigma pembangunan, dengan focus pada sektor pertanian dan pembangunan perdesaan, kita yakin Negara ini akan maju dan rakyatnya akan mencapai kesejahteraan. (IRIB Indonesia/Media Indonesia/RA)

0 komentar:

Posting Komentar