Minggu, 04 Maret 2012

Aksi Penusukan Penegak Hukum dan Kemarahan Publik


Kemarahan dan kebencian rakyat terhadap korupsi dan pelakunya sepertinya sudah memuncak tak tertahankan. Terlebih bila sang koruptor ialah seorang penegak hukum.

Itulah yang terjadi ketika aktivis LSM Deddy Sugarda menyerang jaksa Sistoyo dengan senjata tajam. Akibat penyerangan yang terjadi seusai sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat, kemarin, Sistoyo menderita luka di dahinya.

Sistoyo ialah jaksa yang tertangkap tangan oleh KPK menerima sogok Rp99,9 juta dari seorang terdakwa kasus pemalsuan surat terkait dengan pembangunan Pasar Festival di Cisarua, Bogor, beberapa waktu silam.

Deddy mengaku menyerang jaksa Sistoyo karena sakit hati kepada aparat penegak hukum yang melakukan korupsi dan menerima sogok. Menurut Deddy, mereka tak ubahnya pengkhianat rakyat dan negara.

Deddy mengaku sebelumnya pernah merencanakan hal yang sama kepada Cirus Sinaga, jaksa yang didakwa dalam kasus pemalsuan surat rencana tuntutan terhadap Gayus Tambunan.

Penyerangan terhadap jaksa Sistoyo itu merupakan gejala yang mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan. Mengejutkan karena insiden penyerangan fisik dengan senjata tajam terhadap jaksa yang diduga korup itu baru pertama kali terjadi. Mengkhawatirkan karena bila itu dibiarkan, akan semakin banyak aparat penegak hukum berada dalam bahaya.

Kita berpendapat, bagaimanapun, perbuatan Deddy merupakan tindakan kriminal yang harus diproses secara hukum.

Akan tetapi, kita juga harus memandang perbuatan Deddy sebagai ekspresi kekecewaan rakyat terhadap penegak hukum yang korup. Kita bahkan harus melihat kekecewaan Deddy sebagai ungkapan kekecewaan terhadap kegagalan institusi peradilan menangani perkara korupsi.

Rakyat menyaksikan betapa tidak seriusnya pengadilan menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Pengadilan sering kali menjatuhkan hukuman ringan terhadap terdakwa korupsi.

Contoh paling mutakhir terjadi ketika hakim menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada hakim Syarifuddin meski jaksa menuntutnya 20 tahun penjara. Pengadilan bahkan tak jarang memvonis bebas terdakwa korupsi.

Penyerangan terhadap jaksa Sistoyo sesungguhnya merupakan warning bagi siapa pun, terlebih penegak hukum, agar jangan coba-coba melakukan korupsi. Peristiwa itu juga merupakan warning bagi penegak hukum untuk serius memberantas korupsi dan menegakkan hukum.

Jika peringatan itu diabaikan, rakyat sendiri yang akan mengadili para koruptor.

Sementara itu, Pembacokan terhadap Jaksa Sistoyo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung menunjukkan keresahan masyarakat terhadap proses hukum di pengadilan.

Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menandaskan,"Ini bentuk kegalauan masyarakat tentang proses penegakkan hukum yang tidak pernah tuntas, akhirnya timbul kejadian seperti ini. Kita prihatin, karena apapun bentuk kesalahannya, seharusnya tidak bisa diselesaikan melalui kekerasan. Ada jalur-jalur yang harus dilalui."

Politikus dari Fraksi Golkar ini meminta agar aparat penegak hukum dapat mengusut tuntas insiden pembacokan ini

Insiden pembacokan atas Jaksa Sistoyo bukan hanya karena adanya faktor kelalaian dari pengamanan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung. Demikian menurut peneliti ICW Donal Fariz.

Aparat penegak hukum yang tidak cakap dalam menegakkan hukum dinilai sebaai pemicu publik untuk bertindak dengan caranya sendiri.

Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz  mengatakan, "Pembacokan itu bisa dimaknai sebagai sebuah bentuk kemarahan publik atas hukum yang tidak adil, dan kemudian begitu mudahnya aparat penegak hukum dibeli oleh uang."

Ada dua sisi yang dilihat sebagai penyebab dari insiden pembacokan kepada Jaksa Sistoyo itu. Pertama, putusan yang dikeluarkan dunia peradilan tidak dihargai. Ini menjadi masalah tersendiri. Selain itu, negara juga mencontohkan cara berhukum yang tidak benar juga.

Ia menerangkan,"Misalnya, putusan terhadap kasus susu yang tidak dieksekusi, atau putusan terhadap GKI Yasmin yang juga tidak dieksekusi."

Lalu yang kedua, penegak hukum justru menjadi pelaku dari korupsi itu sendiri. Tak heran jika kemudian publik marah atas tindakan dari aparat penegak hukum yang cenderung tidak menegakkan hukum. Akibatnya, publik pun menjadi korban.

Ketika publik merasa dirugikan dan negara tidak berpijak dan lemah, maka publik yang kemudian mengambilalih peran negara yang tidak bisa dijalankan dengan baik tersebut.

Ditambahkannya,"Publik tentu memainkan dengan caranya sendiri. Itu ujung-ujungnya ketika negara amburadul dan cara berhukum yang tidak benar."

Kendati demikian, perlu ditelusuri pula apa motif pelaku pembacokan Jaksa Sistoyo itu. Bisa jadi si pelaku pernah terkena kasus, sehingga lalu memiliki motif dendam karena dipermaikan atau diperas.

"Nah, itu menjadi ranah penyidik untuk memeriksa motivasi apa di balik itu semua. Tidak sederhana itu orang datang ke persidangan lalu membacok," tandasnya.

Sementara itu, lain lagi pendapat Anggota Komisi III Fraksi Partai Hanura Sarifuddin Sudding. Ia  menyesalkan peristiwa yang menimpa jaksa Sistoyo. Ia menilai ini tampaknya menjadi upaya penghilangan jejak para koruptor.

Ditandaskannya,"Bisa jadi ada upaya penghilangan jejak dari pihak-pihak yang terlibat kasus korupsi ini."

Jaksa Sistoyo merupakan terdakwa dari kasus dugaan suap di Kejaksaan Negeri Cibinong. Rabu pagi, ia menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Selesai menjalani persidangan, seorang pria melayangkan sabetan tepat di dahinya.

Untuk itu, Sarifuddin menegaskan penyelidikan jangan berjenti, tetap harus ditelusuri lebih jauh. Motif pembacokan bukan hanya sebuah bentuk protes dari ketidakadilan hukum di Indonesia.

"Telusuri lebih jauh, apakah ada keterlibatan pihak lain yang juga tersangkut dalam kasus jaksa Sistoyo," tegas Sarifuddin. (IRIB Indonesia/Micom)

0 komentar:

Posting Komentar