Sabtu, 03 Maret 2012

Islam dan Hubungan Antarmanusia


Oleh: Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri

Islam selaras dengan fitrah dan realitas manusia. Atas dasar itu Islam menetapkan beberapa aturan yang berpijak pada realita untuk menata hubungan antar kelompok manusia dengan sebaik-baiknya. Aturan-aturan tersebut merupakan teori kemanusiaan paling menarik dalam bidang ini. Dalam artikel ini saya akan berupaya menjelaskan beberapa catatan berkenaan dengan hal tersebut seraya berpijak pada teks-teks Islam terkait.

Catatan Pertama
Allah Swt menciptakan keanekaragaman. Itu merupakan bentuk kemurahan Allah yang tentu ada tujuan besar di baliknya. Cukup banyak ayat-ayat al-Quran yang menerangkan hal ini, antara lain firman Allah Swt:

"Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering) dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti."(QS. al-Baqarah [2]: 164.

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal." (QS Alu Imran [3]: 190).

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui." (QS. Ar-Rum [30]: 22).

"... dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain."(QS. az-Zukhruf [43]: 32).

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." (QS al-Hujurat [49]: 13).

Masih banyak ayat-ayat mulia lainnya yang menegaskan bahwa keanekaragaman merupakan sunatullah dan nikmat bagi seluruh makhluk, terutama manusia. Allah Swt memfasilitasi kehidupan manusia dengan berbagai fenomena yang menunjukkan rencana Allah yang Mahabijaksana bagi perjalanan manusia yang paripurna ini. Tidak diragukan lagi bahwa keanekaragaman—sebagaimana diisyaratkan dalam beberapa teks al-Quran—merupakan prasyarat untuk mengejawantahkan taaruf yang benar sebagai awal bagi kerja sama yang konstruktif dalam merealisasikan tujuan penciptaan manusia. Keanekaragaman diperlukan untuk membuka jalan bagi akal untuk berijtihad, berkreasi, berinovasi, dan mengembangkan kehidupan dengan memanfaatkan kemampuannya dalam mengabstraksikan. Keanekaragaman juga diperlukan agar akal bisa meloloskan diri dari cengkeraman kondisi yang tengah dijalani untuk mengimajinasikan situasi yang lebih baik dan rencana untuk merealisasikannya. Keanekaragaman dibutuhkan untuk bersaing dalam kebaikan guna mencapai gerakan terpadu yang diinginkan, termasuk saling memanfaatkan energi dan kerja sama yang diperlukan. Selain itu, keanekaragaman ini harus diartikan sebagai pengakuan atas keragaman visi, sikap, dan mazhab. Oleh karena itu, kita tidak akan menemukan satu pun konfirmasi akan adanya kesatuan ide, karena setiap muslim pasti berbeda ide dengan muslim lainnya.

Catatan Kedua
Manusia—sebagaimana sudah saya katakan—secara alamiah bercita-cita mengubah sebuah realitas menuju format yang ideal. Dalam setiap tahapan perubahan dia perlu mempercayai nilai-nilai yang sudah mapan. Tahapan-tahapan tersebut sebagai berikut:

Pertama, fase manusia mempercayai dirinya.

Kedua, fase keluar dari dirinya.

Ketiga, fase memformulasikan ide dan membentuk gambaran tentang saat ini dan masa depan menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Keempat, fase mentransfer ide kepada orang lain dan menerima ide-ide mereka.

Kelima, fase pengumpulan, penyeleksian, klarifikasi, dan diskusi.

Keenam, fase penarikan kesimpulan.

Ketujuh, fase merencanakan perubahan.

Terakhir, fase mengeksekusi dan merealisasikan perubahan.

Intinya, ada korelasi yang sempurna antara perjalanan transformasi peradaban manusia dan proses dialog dengan kepercayaan terhadap nilai-nilai bersama yang absolut.

Nilai-Nilai Bersama adalah Absolut dan Dibutuhkan
Dengan analisis psiko-emosional yang dijadikan acuan dalam perjalanan ini, kita menemukan dua sistem nilai. Pertama, nilai pengaruh absolut (muthlaq al-ta'tsîr) yang tidak dibatasi oleh ruang dan kondisi tertentu; kedua, nilai situasi alami atau nilai asal yang dapat berubah seratus delapan puluh derajat atau hilang pengaruhnya ketika keadaan lain muncul. Contoh sistem yang pertama adalah nilai keadilan. Ia senantiasa dibutuhkan dalam kondisi apa pun. Contoh lain adalah menyampaikan rasa syukur kepada yang memberikan nikmat. Adapun contoh sistem yang kedua antara lain memelihara diri, menjaga kehormatan, membela kaum lemah, perdamaian, keamanan, perubahan ke arah yang lebih baik, kasih sayang, mendahulukan orang lain, dan amanah.

Di beberapa tempat boleh jadi kebenaran ditafsirkan sebagai konsekuensi dari ketidakadilan, bukan konsekuensi keadilan. Terkadang kedamaian mengarah kepada keberanian untuk melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Apabila keadilan merupakan nilai absolut, maka kedamaian merupakan nilai relatif. Kita berupaya merealisasikan kedamaian apabila mengisyaratkan salah satu sisi wajah keadilan dan akan menolaknya ketika akan menimbulkan ketidakadilan. Tapi ada pertanyaan mendasar: apa barometer keadilan itu? Bagaimana kita memastikan bahwa keadilan itu terwujud?

Semua agama langit pasti didasarkan kepada dua tolok ukur:
Pertama, tolok ukur ibadah. Dalam hal ini kita memanfaatkan pengetahuan dari Allah Swt yang Maha Mengetahui secara absolut, yaitu ajaran-ajaran agama yang telah mapan dan dipastikan bersumber dari Allah Swt.Sebelum itu, kita harus meyakini dulu ilmu Allah yang komprehensif, kebaikan dan kasih sayang-Nya kepada manusia, keadilan-Nya, dan kesenangan-Nya terhadap semua sifat kesempurnaan. Allah hanya menginginkan yang terbaik bagi manusia dan tidak akan pernah menipunya. Allah hanya memperlihatkan semua realita dan menginginkan semua yang terbaik untuk manusia.

Kedua, tolok ukur emosional. Dalam hal ini cukup merefleksi ke dalam diri dan meyakininya. Atau dengan kata lain, cukup kembali ke fitrah diri.

Hal yang dapat membantu kita dalam menyingkap fitrah dalam diri (al-‘umq al-fithrî) adalah keberadaan keyakinan—seberapa pun keyakinan itu—sebagai bawaan tabiat manusia. Keyakinan dimiliki oleh seluruh manusia meski lingkungan, kondisi individu, kondisi masyarakat, waktu, dan tempat mereka berbeda-beda.

Untuk memastikan makna ini, kita bisa mengajukan pertanyaan berikut kepada siapa pun, "Menurut Anda, apakah perilaku si Polan itu perilaku manusia ataukah perilaku hewan?" Ambil contoh kasus pembunuhan anak yatim, orang tidak berdaya dan orang lemah untuk mengalihkan perhatian dan berdasarkan keinginan. Tidak diragukan lagi, siapa pun akan menganggap tindakan seperti itu sebagai prilaku brutal.

Terkadang al-Quran mempersilakan manusia untuk kembali kepada harapan emosional dan keyakinan naluriahnya, semisal Allah berfirman, "Dihalalkan bagimu yang baik-baik." (QS. al-Maidah [5]: 4), tanpa merinci apa saja yang baik-baik itu. Dalam ayat lain, Allah berfirman "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji." (QS. al-A‘raf [7]: 33), juga tanpa merinci apa saya perbuatan yang keji itu. Keluar dari kondisi kemanusiaan dianggap sebagai kefasikan danpenyimpangan watak. "Orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. al-Hasyr [59]: 19).

Catatan Ketiga
Komposisi eksistensi alami (al-tarkîbah al-wujûdiyah al-fithriyyah) menuntut agar manusia mengomunikasikan pemikiran kepada orang lain dengan cara memformulasikan ide di dalam diri dan mentransfernya kepada yang lain memalui simbol dan bahasa. Selain itu, dia harus mengenali pemikiran orang lain supaya tercipta interaksi antar berbagai pemikiran kemudian mengembangkannya.

Akan tetapi interaksi ini membutuhkan prinsip-prinsip yang dirasakan oleh manusia secara global, dikristalisasikan dan dijelaskan seperlunya oleh petunjuk wahyu. Kami yakin bahwa wahyu—selain menyingkap bidang-bidang pengetahuan yang tidak diketahui oleh manusia dalam rangka memfasilitasinya agar mencapai kesempurnaan—dimaksudkan untuk menjelaskan kepada manusia tentang potensi alami dan persiapan kejiwaannya, juga menerangkan sejelas-jelasnya tentang pengetahuan aktifnya.

Di sini kita lihat al-Quran menyajikan teorinya yang dialogis, integral, dan komprehensif kepada manusia yang diperlukan untuk fase sebelum dialog, mengenaitujuan, posisi, perilaku, serta syarat-syarat yang dia perlukan agar bisa mewujudkan tujuannya tanpa terjebak dalam kebodohan, kefanatikan, narsisme, kekeraskepalaan, khurafat, taklid buta, intimidasi, meremehkan orang lain, dan hal-hal lainnya yang dinafikan oleh Al-Qur'an. Pola pikir harus dibersihkan dari hal-hal semacam itu supaya manusia terbiasa berdialog dengan pikiran yang jernih, tematis, dan memiliki spirit peradaban yang mengarah kepada kesempurnaan.

Catatan Keempat
Dalam beberapa tulisan disebutkan bahwa dialog menuntut mengakui yang lain, atau dengan kata lain meragukan sikap dan tidak mempercayai diri sendiri, atau memosisikan diri kepada standar pemikiran oranglain. Terkadang dikatakan bahwa sikap orang yang menuntut dialog adalah sikap orang lemah yang menuntut diakui oleh orang lain. Akan tetapi kami berkeyakinan bahwa dialog adalah cara yang logis dan manusiawi yang menghindarkan manusia dari anggapan-anggapan semacam itu. Dialog tidak mesti mengakui orang lain dan juga tidak menuntut orang lain mengakuinya. Dialog semata-mata mencari jalan dan ruang bersama, atau mencari sesuatu ketika orang lain melihat titik samar yang tidak dipahaminya dan perlu mendapat penjelasan. Ya, salah satu syarat dialog adalah menghormati orang lain, tidak menyinggung perasaannya, atau memprovokasinya, agar dia keluar dari kondisi alamiahnya. Inilah pendekatan al-Quran yang orisinal.

Dialog juga tidak berarti meragukan posisi diri sendiri, juga bukan berarti merasa percaya diri. Rasulullah Saw diseru untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik, "... dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata." (QS. Saba [34]: 24), padahal beliau adalah orang yang paling beriman. Keyakinan beliau mendorongnya untuk terlibat dalam dialog karena beliau merasa tenang dengan potensi dirinya yang berharga laksana permata, sehingga beliau tidak mengkhawatirkan kritikan siapa pun.

Catatan Kelima
Salah satu hal yang terkait dengan proses dialog adalah bahwa tujuan umum dari dialog harus mengkaji seluruh aspek yang dilibatkan oleh para pihak yang berdialog, meskipun keterlibatan tersebut sebatas dalam perencanaan substansial yang tidak terperinci. Berikutnya adalah mengkaji kemungkinan ekspansi dalam area ini dengan menjelajah berbagai dimensi masalahnya dan meneruskannya kepada pembicaraan-pembicaraan umum. Setelah itu baru disusun rencana untuk mengubah area umum menjadi realitas yang dipersonifikasikan. Dalam hal ini ada dua hal yang patut diperhatikan:

Pertama, bahwa tujuan ini bersifat umum dan luas, bisa diterapkan kepada semua pihak yang berdialog tanpa mempersoalkan posisi teoritis dan praktis mereka. Nah, hari ini kita menyerukan dialog antara dunia Islam dan Barat. Memang ada kesenjangan di antara keduanya dan kecuali itu Barat juga melakukan segala upaya yang pada gilirannya bakal menghilangkan identitas Islam, bahkan menghina kesucian Islam karena motivasi salibis yang ekstrem dan zionis yang pendengki. Namun demikian, pintu dialog masih senantiasa terbuka seperti dialog yang bisa kita lihat antara para cendekia dari kedua belah pihak dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah yang masih menggantung dan memisahkan ruang bersama. Kesenjangan tidak boleh menghalangi upaya-upaya untuk merintangi unsur-unsur ekstremis, bahkan menghentikannya dengan berbagai metode yang tepat.

Kedua, semakin luas ruang bersama, semakin luas pula tanggung jawab bersama. Hal itu akan diikuti dengan kerja sama yang lebih besar di jalur peradaban bersama, bahkan seandainya ada tuntutan untuk membekukan beberapa sengketa, niscaya itu bisa dilakukan. Sebagai contoh adalah dialog antara agama-agama Ibrahim dan kerja sama untuk meredam gelombang ateisme dan sekurelisme, meningkatkan standar moral, dan memperkuat gerakan keseimbangan kebudayaan. Agama adalah spirit peradaban, meskipun ada sebagian peradaban yang berupaya melepaskan diri dari spirit keagamaannya dan menyerukan sekularisme.

Catatan Keenam
Saya yakin bahwa tanggung jawab peradaban adalah tanggung jawab penting yang sangat diperhatikan oleh Islam. Islam menanamkan wawasan kemanusiaan kepada pemeluknya sehingga mau memikirkan orang lain, baik mereka yang satu saudara seagama atau sesama manusia. Dengan wawasan kemanusiaan seorang muslim akan menolong setiap orang yang lemah tanpa mempersoalkan latar belakang orientasinya. Dia bakal mendukung setiap gerakan keadilan tanpa mempersoalkan warnanya. Dia berkeyakinan bahwa setiap makhluk yang mempunyai ruh mempunyai pahala sebagaimana diungkapkan oleh Rasulullah Saw yang mulia, bahkan dia mencintai alam dan tidak akan menyakiti hewan peliharaan sekali pun. Itulah watak peradaban. Seperti sudah saya singgung, watak peradaban akan meluas seiring dengan meluasnya ruang bersama. Setiap muslim bertanggung jawab terhadap perjalanan kemanusiaan. Membantu perjalanan kemanusiaan dan menghilangkan kezaliman darinya adalah tanggung jawab besarnya. Tanggung jawabnya terhadap orang-orang yang beragama lebih besar lagi, dan tanggung jawabnya terhadap orang-orang muslim jauh lebih besar lagi. Begitulah hingga semuanya sampai pada ruang bersama dan keluarga bersama.

Catatan Ketujuh
Masalah membela hak asasi manusia sangat pas dengan catatan sebelumnya. Itu karena saya yakin bahwa Allah Swt telah menciptakan sesuatu untuk memahami hak-hak tersebut dalam fitrah manusia dan menjamin keberadaannya bagi setiap jenis manusia, termasuk memperoleh hak seperti yang dimiliki oleh orang-orang bertakwa, orang-orang baik, orang tua, dan kerabat, yaitu penghormatan dan terima kasih. Dalam fitrah kita terdapat sesuatu untuk mengeluarkan hak-hak tersebut. Jiwa manusia menamainya dengan akal praktis (al-‘aql al-amalî), seperti yang dikatakan oleh para filosof, atau emosi. Ia merupakan karakteristik bawaan yang ada pada manusia dan akan dicela apabila menyimpang dari format alamiah manusia.

Oleh karena itu, saya katakan bahwa Islam dalam teorinya tentang hak-hak asasi manusia berangkat dari sumber yang real dan alami. Seluruh aturannya sejalan dengan sumber tersebut. Sementara itu, teori-teori materialisme—yang tidak mempercayai fitrah—tidak mampu mendirikan bangunan semacam itu dengan fondasi yang kuat. Lebih dari itu, saya berkeyakinan bahwa pembicaraan tentang keadilan, moral, rasa artistik, termasuk juga tentang pengetahuan manusia, tidak akan bermakna jika kita mengingkari fitrah.

Catatan Kedelapan
Keuniversalan adalah kecenderungan alamiah yang mengeluarkan manusia dari daerahnya yang sempit ke area kemanusiaan yang luas, dari kemajemukan ke persatuan, dan dari perhatiannya yang terbatas ke tanggung jawab yang besar. Dengan demikian, keuniversalan merupakan gerakan yang diberkati. Saat ini kita menyaksikan bagaimana kemaslahatan saling berkelindan, berbagai persoalan dalam bidang lingkungan, media, hak, pengetahuan, energi dan lain-lain saling berbenturan. Tapi ada sesuatu yang tercela dan membahayakan, yaitu adanya gerakan setan yang berupaya mendominasi budaya, ekonomi dan militer untuk mencuri produk peradaban ini untuk mewujudkan cita-citanya dengan menghancurkan yang lain. Itulah yang saat ini kita sebut dengan globalisasi gila dan bodoh, amerikanisme, dan lain sebagainya yang menghendaki agar semua manusia bergerak melawan eksploitasi peradaban yang menjijikkan ini.

Catatan Kesembilan
Tidak diragukan lagi bahwa keamanan merupakan tuntutan alami manusia yang berakar dari naluri paling penting dalam fitrah manusia, yaitu naluri mencintai diri (hubb al-dzât). Naluri ini bekerja dengan naluri-naluri lainnya secara terkoordinasi untuk merealisasikan perjalanan manusia yang seimbang menuju cita-citanya yang integral dan luhur. Keberadaan dorongan-dorongan naluriah tidaklah cukup untuk mengamankan perjalanan yang seimbang. Lingkungan alam individu dan spesies harus diamankan supaya dorongan-dorongan naluriah tersebut mendorongnya ke tujuan yang diinginkan.

Berdasarkan konfirmasi dari fitrah sendiri untuk menyediakan lingkungan yang aman, kita menemukan bahwa Allah telah menanamkan aksioma-aksioma kebijaksanaan, kecenderungan kepada keadilan, keengganan terhadap kezaliman dan permusuhan di dalam fitrah. Bahkan Allah telah menganugerahinya kekuatan untuk menentukan berbagai tanda keadilan dan kezaliman yang membuka jalan baginya untuk sampai kepada Sang Pencipta yang Mahaagung dan menampilkan arti kesetiaan kepada-Nya. Saat itu terbukalah baginya horizon wahyu. Dengan horizon tersebut tersingkaplah tesis samawi yang memberinya sketsa perjalanan yang utuh dan menjamin segala sesuatu yang bakal menyampaikan ke tujuannya.

Dengan demikian, keamanan merupakan hajat manusia yang abadi, tidak berubah karena keadaan, dan bukan fenomena aksidental. Jika hanya fenomena aksidental tentu dikatakan bahwa keamanan diciptakan untuk situasi masyarakat tersebut. Ketika situasi berubah, maka fenomena tersebut ikut berubah. Oleh karena itu pula, wajar bila kita membayangkan perlunya sistem yang komprehensif yang menjamin keamanan individu dan masyarakat sepanjang perjalanan manusia.

Kita tidak dapat menggambarkan batasan masalah menjaga perdamaian dan keamanan, kecuali dalam kerangka masalah integrasi manusia itu sendiri setelah kita memahami bahwa fitrah—sebagaimana telah saya katakan—merupakan standar seluruh hak asasi manusia segara global. Fitrah mengharuskan menjaga keamanan manusia untuk merealisasikan tujuan besar. Dengan demikian, keamanan tidak bisa dibatasi, kecuali jika keluar dari tugas kehidupannya dan berbalik menjadi elemen yang anti keamanan itu sendiri. Karena itu menjaminnya menjadi tidak berarti. Jika tidak, bagaimana kita menggambarkan fitrah yang mendengungkan perlunya keamanan, tapi ia sendiri mempersilakan seseorang untuk menghilangkan keamanan dirinya sendiri atau keamanan orang lain, kemudian keamanan seluruh perjalanan kemanusiaan, tanpa bisa dibatasi oleh sesuatu yang bisa mencegahnya dari perbuatannya, bahkan meskipun hal itu bakal mengancam keamanannya? (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)

0 komentar:

Posting Komentar