Sabtu, 03 Maret 2012

Melatih Memori Agar Lebih Cerdas


Banyak orang mengeluh lupa nama kawan, tidak mampu mengingat di mana menaruh kunci atau dompet, bahkan ketika tiba di sebuah toko tidak ingat mau membeli apa. Kalau sudah begini, biasanya kita jadi kesal, uring-uringan.

‘Lupa ingatan' seperti ini biasanya terkait dengan memori biasa. Kebanyakan orang beranggapan bahwa memori biasa bertanggung jawab atas tingkat intelegensinya. Bila mereka menemui masalah dalam berpikir, mereka menyalahkan memori biasa dan tidak mencoba melihatnya lebih jauh.

Sebenarnya, menurut Barry Gordon, kemampuan mengingat fakta-fakta tidak terlalu berkaitan dengan kecerdasan. Orang-orang yang mampu mengingat banyak fakta tidak selalu lebih cerdas. Ada orang yang mudah mengingat fakta-fakta, tapi tidak cukup cerdas untuk menarik hal penting dari fakta-fakta itu. Sementara, ada orang yang memori-biasanya lemah, seperti pengidap amnesia, ternyata mampu mempertahankan inteligensinya. Mengapa begitu? Sebab pengidap amnesia masih memiliki apa yang disebut memori inteligen.

Apa yang dimaksud memori inteligen ialah memori yang "merekatkan" pemikiran kita—dan potongan memori-memori biasa—menjadi satu. Memori inteligen berkaitan dengan apa yang disebut pemikiran kritis atau kreatif. Orang-orang yang cerdas memiliki memori inteligen yang lebih terasah.

Buku karya Barry Gordon dan Lisa Berger (Esensi, 2011) yang berjudul Memori Inteligen ini menguraikan dengan jernih banyak aspek dari memori ini. Menurut Gordon, setidaknya ada tiga unsur penting dalam memori inteligen. Pertama, potongan-potongan memori. Ragamnya bisa berupa pengalaman, informasi, dan pengetahuan. Kedua, koneksi-koneksi di antara potongan-potongan memori tersebut. Ketiga, proses mental yang menggabungkan potongan dan koneksi itu sehingga melahirkan pemikiran yang lebih canggih.

Yang menarik, Barry menyebutkan bahwa memori inteligen dapat bertambah kuat seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman. Ini berbeda dengan memori biasa yang justru menurun bila kita semakin tua. Nah, kita sering mengabaikan kemajuan memori inteligen. Begitu pula, banyak orang tidak memahami bahwa memori inteligen inilah yang berpengaruh atas tingkat kecerdasan kita.

Paragenius, seperti diungkapkan dalam buku Ketika Mozart Kecil Memainkan Jemarinya (Gramedia, 2011), memiliki keunggulan dalam mengenali pola-pola suatu persoalan. Apa yang tampak rumit di mata banyak orang akan terlihat lebih mudah di hadapan para genius. Mereka paham betul bagaimana memanfaatkan kekuatan memori inteligen yang bekerjanya memang lebih tersembunyi. Ini terkait dengan kemampuan memori inteligen mereka.

Mengapa memahami memori inteligen penting? Sebab, dalam kehidupan sehari-hari, memori inilah yang membantu kita menulis laporan yang rapi, memutuskan investasi mana yang akan diambil, merundingkan harga dengan pemasok, dan banyak lagi. Memori ini membantu kita mengatasi masalah, memberi kita pemahaman, dan membuat kita berpikir kreatif.

Bagaimana melepaskan energi mental ini?

Tidak seperti dugaan kebanyakan orang, pemikiran cerdas bukan suatu cetusan energi mental yang tak dapat dijelaskan dan dikendalikan. Pemikiran cerdas juga bukan hanya milik orang-orang yang dianggap genius. Dalam buku ini, Gordon membukakan jalan tentang apa yang seharusnya kita lakukan apabila ingin memperkuat memori inteligen kita.

Sebelum belajar, Gordon mengajak kita untuk menguji kemampuan memori inteligen kita dengan menyodorkan sejumlah latihan. Salah satu pernyataan uji yang diajukan berbunyi: "Ketika para politisi berusaha untuk tetap berdiri di tengah jalan, mereka akan ditabrak dari kedua sisi." Bagaimana respon Anda? Apakah Anda mengerti maksud pernyataan itu dengan seketika, atau butuh beberapa detik untuk memahaminya, atau bengong, ‘Apa ya?' Pernyataan ini sebuah aforisme yang mengkoneksikan antara sikap politik dan lalu lintas.

Tentu saja tidak ada jalan pintas untuk menguatkan memori inteligen. Gordon mengajak kita untuk melewati tahap demi tahap dalam mengasah kemampuan memori ini. Ia juga menunjukkan jalan untuk mencegah kesalahan mental dalam berpikir. Gordon telah menyingkapkan rahasia yang berguna untuk memperkuat kerja kreatif kita.

Mencari Negeri yang Damai

Lembaran almanak 2011 segera berakhir dan bersalin dengan 2012. Banyak yang sudah dicapai dalam rentang 365 hari silam, tetapi tidak sedikit yang membuat kita menghela nafas panjang, pesimistis bahkan waswas.

Salah satu yang merisaukan kita selama tahun ini ialah kekerasan yang seakan menaburi segenap penjuru Tanah Air. Seolah tidak ada lagi tempat damai di negeri ini.

Adapenembakan misterius di Papua serta pembantaian keji di Mesuji, Lampung dan Sumatra Selatan. Ada pembakaran kantor dinas dan rumah pribadi gubernur serta perusakan rumah-rumah ibadah.

Di Gedung DPR tempat para wakil rakyat terhormat, kekerasan juga terjadi. Kesantunan berpolitik kian pupus. Yang muncul ialah perang kata-kata vulgar, menjurus ke caci maki yang menjijikkan. Kekerasan juga dipertontonkan secara arogan oleh pejabat pemerintah. Mereka yang seharusnya menjadi contoh menjunjung hukum secara angkuh mengangkangi putusan pengadilan.

Rakyat yang terimpit secara ekonomi menyaksikan kekerasan demi kekerasan berlomba muncul tanpa negara berdaya meredam itu. Para elite pemerintahan hanya sibuk membangun citra dan rajin mematut diri.

Kekerasan yang muncul di mana-mana ditiru secara sempurna oleh pelajar dan mahasiswa. Tengoklah di jalan-jalan utama di kota-kota besar, para pelajar begitu mudah tawur. Mereka tidak lagi hanya mengantongi batu, tetapi membawa golok dan samurai dalam tas sekolah. Mereka tidak lagi sekadar berniat mencederai lawan, tetapi bernafsu membunuh.

Juga di kampus-kampus, mahasiswa secara brutal merusak ruang-ruang kuliah, menghancurkan perabotan laboratorium, dan mengobrak-abrik ruang praktikum hanya karena persoalan sepele.

Negara dan pemerintah yang bertugas menciptakan kedamaian hanya berdiam diri. Akibatnya rakyat menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri, termasuk menggunakan kekerasan.

Kita prihatin karena pemerintah hanya menjadi penonton ketika kedamaian dicabik-cabik. Kita juga prihatin ketika rakyat lari tunggang langgang menghindari kekerasan untuk mencari kedamaian, pemerintah tidak berdaya memberi perlindungan. Rakyat butuh negeri yang damai dengan pemimpin yang mengayomi. Bukan pemimpin yang hanya menonton ketika rakyat ditebas dan dibantai. Negeri yang damai semestinya bukanlah sebuah impian. Para pemimpin diberi amanah mewujudkannya. (IRIB Indonesia/RM/Tempo/ Mediaindonesia)

0 komentar:

Posting Komentar