Sabtu, 03 Maret 2012

Membaca Kembali Einstein


Di antara buah pikir yang mempengaruhi cara manusia modern dalam memandang semesta ini ialah teori relativitas Albert Einstein. Di antara fisikawan sezamannya, bahkan generasi berikutnya, nama Einstein selalu disebut yang pertama bila kita bertanya ihwal siapa ilmuwan paling berpengaruh setelah Isaac Newton.

Wilayah pengaruh Einstein bahkan melampaui ranah fisika. Kesadarannya mengenai isu-isu kemanusiaan memperlihatkan keluasan minatnya. Surat Einstein (1939) kepada Presiden AS Roosevelt perihal kekhawatirannya bahwa Jerman akan membuat bom dianggap mempengaruhi presiden tersebut untuk memulai Proyek Manhattan. Einstein sendiri tidak terlibat dalam proyek ini.

Keluasan perhatian Einstein terlihat betul dalam kutipan dari ucapan, pidato, surat pribadi, maupun tulisan-tulisan Einstein di luar urusan fisika yang dihimpun Alice Calaprice. Hasil kerja tekun Calaprice membuahkan buku The Ultimate Quotable Einstein (terbit 2011) yang memuat sekitar 1.600 kutipan yang mencakup beragam isu, mulai dari perdamaian, Tuhan, pendidikan, teman-teman, anak-anaknya hingga soal musik.

Di tengah kecenderungan untuk serba cepat di zaman internet saat ini, membaca kutipan surat-surat pribadi Einstein terasa berharga. Kata-kata Einstein yang kerap dikutip, ‘Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan terbatas. Imajinasi melingkupi dunia,' amat pas untuk melukiskan kekuatan imajinasi Einstein dalam merumuskan teori relativitas, yang mendahului orang-orang sezamannya. Kutipan ini juga jadi amat relevan dengan situasi saat ini, ketika banjir informasi dan pengetahuan mengepung kita.

Orang kerap membayangkan apakah Einstein akan sehebat yang dipujikan orang bila ia bukan fisikawan? Katakanlah, menjadi seorang musisi! Sebab, Einstein pernah mengatakan, "Seandainya aku bukan fisikawan, aku mungkin menjadi musisi. Aku sering berpikir di dalam musik. Aku menghidupkan mimpin-mimpiku dalam musik. Aku melihat kehidupanku dalam tuturan musik. Aku sangat mendapatkan kenikmatan dalam hidup dari biola." (wawancara dengan G.S. Vierack, Saturday Evening Post, 26 Oktober 1929).

Kutipan-kutipan yang terangkum dalam buku terbitan Princeton University Press, unit penerbitan universitas bergengsi tempat Einstein pernah bergabung, ini menunjukkan bahwa Einstein orang yang terbuka terhadap gagasan baru. Namun nilai-nilai kemanusiaannya yang paling dasar tidak pernah berubah. "Manusia dapat menemukan makna kehidupan hanya dengan mengabdikan dirinya kepada masyarakat."

Sebagai ilmuwan, Einstein tidak apolitis. Sebagai orang yang berdarah Yahudi, ucapan-ucapan Einstein menunjukkan pergulatannya dalam berbagai isu ke-Yahudi-an. Satu saat ia mengatakan, "Seandainya kita tidak harus hidup di antara orang-orang yang tidak toleran, berpikiran sempit, dan keras, aku akan jadi orang pertama yang menafikan semua nasionalisme dan lebih memilih kemanusiaan universal."

Einstein juga mengaku sebagai seorang determinis, sebagaimana ia sangat dikenal dengan ucapannya dalam konteks salah satu isu fisika yang krusial, "Tuhan tidak bermain dadu." Ia mengungkapkan posisi yang sama ketika berbicara tentang Yahudi. "Aku tidak mempercayai kehendak bebas. Yahudi percaya kehendak bebas. Mereka percaya bahwa manusia membentuk kehidupannya sendiri. Aku menampik doktrin itu secara filosofis. Dalam pengertian itu, aku bukan seorang Yahudi."

Kumpulan kutipan Einstein ini begitu inspiratif dan, dalam hemat saya, masih relevan untuk saat ini. Di samping fisikawan hebat, Einstein juga seorang ayah yang menaruh perhatian pada anak-anaknya. Begitu cerdik Einstein ketika menyemangati puteranya, Eduard (1930): "Orang itu tak ubahnya sepeda. Mereka bisa menjaga keseimbangan hanya sepanjang mereka terus bergerak."

Sebagai pencari kebenaran, Einstein tak kenal letih hingga akhir hayatnya. Kendati mengaku bahwa dirinya adalah tipikal penyendiri dalam kehidupan sehari-hari, tapi, kata Einstein "Kesadaranku bersama komunitas tak terlihat yang terdiri dari mereka yang mencari kebenaran, keindahan, dan keadilan yang telah mencegahku dari perasaan terisolasi."

Setiap Bayi Bisa Seperti Einstein

Setiap orang tua pasti bermimpi memiliki anak yang cerdas seperti Albert Einstein. Kabar gembira itu datang. Beberapa penelitian membuktikan mimpi itu tidak terlalu muluk. Gagasan ini sebenarnya sudah pernah dikemukakan oleh Plato. Nah sekarang ini penelitian baru yang dilakukan oleh University of Missouri telah mengkonfirmasi gagasan filsuf besar ini.

Plato memiliki keyakinan bahwa semua bayi dilahirkan dengan pengetahuan intuitif fisika. Apakah ini berarti bayi Anda adalah Einstein berikutnya? Tidak cukup sampai di situ. Bayi tidak dilahirkan dengan pengetahuan bawaan dari teori relativitas atau hukum-hukum Newton tentang gerak.

"Kami percaya bahwa bayi yang lahir dengan pengetahun tentang benda-benda di sekitar mereka. Saat anak bertumbuh, pengetahuan ini disempurnakan dan akhirnya dibawa hingga dewasa," kata Profesor di University of Missouri Kristy van Marle.

Dalam review literatur ilmiah 30 tahun terakhir, Van Marle menemukan bayi pada usia dua bulan memiliki pemahaman intuitif gravitasi. Anak itu mampu mengantisipasi benda yang tidak ada penahan akan jatuh. Selanjutnya, di usia lima bulan, bayi mampu memahami zat non-kohesif seperti pasir atau air yang tidak solid.

Lalu bagaimana untuk mengasah kemampuan intuisi fisika si anak agar kelak bayi bisa cerdas seperti Einstein? Sering-sering berkomunikasi dengan bayi Anda. Usia 4-5 bulan ketika bayi sedang lucu-lucunya justru merupakan usia emas. Saat itu otak bayi mampu menyerap berbagai bahasa dengan baik. Jika cukup nekat, mungkin Anda bisa perkenalkan bayi Anda dengan istilah-istilah filsuf.

Albert Einstein dan Kejeniusan

Apa kesamaan antara Albert Einstein, Plato, Aristoteles, Socrates, Konfusius, Isaac Newton, dan Thomas Edison? Bukan hanya perihal kejeniusan ilmiah dan filosofis, tapi ternyata mereka semua adalan vegetarian!

Lalu, apakah ada hubungan antara vegetarian dan jenius? Seperti dikutip dari Shine, PETA atau People for the Ethical Treatment of Animals mengklaim, "Penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak vegetarian tumbuh lebih tinggi dan memiliki IQ lebih tinggi daripada teman-teman sekelas mereka. Mereka juga mengalami penurunan risiko penyakit jantung, obesitas, diabetes, dan penyakit lainnya dalam jangka panjang."

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan dalam British Medical Journal, dilakukan pengikuran IQ pada anak usia 10 dan kemudian diikuti sampai hingga usia 30. Data menunjukkan bahwa vegetarian dewasa memiliki masa kecil dengan IQ sekitar lima poin lebih tinggi daripada rata-rata orang dewasa pemakan daging.

Mereka yang menjadi vegetarian kala dewasa juga lebih mungkin untuk memiliki pekerjaan dengan tingkat kebugaran lebih tinggi. Beberapa peneliti mengatakan bahwa banyak mengonsumsi buah dan sayuran dapat meningkatkan kekuatan otak sehingga akan meningkatkan kecerdasan.

Jadi, mana yang lebih baik, makan ayam atau telur? Entah apakah ada kaitan antara vegetarian dan kecerdasan, tak ada salahnya bukan untuk sesekali menerapkan pola makan tersebut demi kesehatan? (IRIB Indonesia/RM/Tempo/Metrotv/Mediaindonesia)

0 komentar:

Posting Komentar