Sabtu, 03 Maret 2012

Muhammad Nur: Filsafat Islam di Indonesia Butuh Tangga Pemikiran Baru


Definisi filsafat hanya mencakup metafisika dinilai sejumlah kalangan sebagai pemicu tidak aktualnya pemikiran filsafat Islam. Menurut Muhammad Nur, kandidat doktor filsafat Islam ICAS-Jakarta, dinamika filsafat Islam masih mengalami masalah di tingkat implementasi praktis.

"kita terlalu strict menggunakan terminologi filsafat hanya pada metafisika semata," kata pemikir muslim kelahiran Makasar itu.

"Tampaknya, kita butuh sebuah tangga pemikiran baru untuk menjembatani terjadinya tranformasi dari filsafat yang bertumpu pada metafisika menuju filsafat terapan," tegasnya.

Selengkapnya simak wawancara lengkap Purkon Hidayat dari IRIB Bahasa Indonesia dengan Muhammad Nur, kandidat doktor filsafat Islam ICAS-Jakarta mengenai dinamika filsafat Islam di Indonesia.

Bagaimana anda melihat dinamika filsafat Islam di Tanah Air, terutama pemikiran filsafat Mulla Shadra yang disebut-sebut mulai marak dikaji di Indonesia dalam satu hingga dua dekade terakhir?

Saya melihat pegiat pemikiran Mulla Shadra di Indonesia lebih banyak didominasi oleh para aktivis filsafat yang notabene belajar di Iran. Kalau saya tidak sepakat dengan asumsi yang menyebut di Indonesia marak dengan kajian Shadra. Bagi saya marak atau tidak diukur oleh seberapa jauh akademisi Indonesia memperbincangkan pemikiran Shadra.

Pemikiran Shadra di Tanah Air lebih banyak datang dari kalangan yang banyak berafiliasi ke belahan Iran. Sedangkan di universitas-universitas Indonesia sendiri, kita tidak melihat gagasan Shadra digali dengan antusias, khususnya di Universitas Islam Negeri (UIN). Meski mereka tahu ada pemikiran Shadra, tapi mereka belum begitu giat membicarakannya.

Dalam kondisi demikian, kita menyaksikan bersama filsafat Islam di UIN mulai dipinggirkan, dan para peminat filsafatpun semakin menurun. Banyak faktor yang membuat orang tidak memilih jurusan filsafat. Pertama, motivasi kuliah yang berorentasi kerja, dan filsafat tidak menawarkan itu. Kedua, munculnya kekhawatiran bahwa filsafat justru menjauhkan manusia dari agama.

Saya lihat di sini, meski UIN mempunyai jurusan filsafat Islam, namun yang mendominasi di dalamnya justru filsafat dengan basic humanistik. Padahal, jika filsafat Islam di sana berbasis pada Shadra yang berpijak pada tauhid, saya tidak perlu khawatir menyikapi pandangan yang menyatakan bahwa belajar filsafat justru  akan menjauhkan dari religiusitas. Selama ini muncul kecenderungan bahwa orang-orang yang belajar filsafat seolah-olah memiliki kebebasan totalitas yang terkadang jauh dari nilai-nilai religius. Misalnya, di salah satu kampus UIN di pasang tulisan yang berbunyi "Di Sini Area Bebas Tuhan !".

Ironisnya, yang lebih menyedihkan adalah fenomena tersebut terjadi di universitas Islam. Sebenarnya ini merupakan sebuah keresahan filosofis yang justru harus dijawab oleh kalangan pegiat filsafat Islam. Inilah alasan ketidaksetujuan saya terhadap pandangan yang menilai pemikiran Shadra marak dikaji di Indonesia.

Kira-kira apa masalah utamanya, dan apa terobosan yang harus dilakukan ?

Saya melihat ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk mengenalkan Shadra kepada publik Indonesia. Tidak sedikit orang Indonesia yang mengenal pemikiran Islam justru dari Barat, jadi bukan dari Islam itu sendiri. Imbasnya, para pemikir Muslim Indonesia juga mengenal filsafat Islam termasuk pemikiran Shadra justru dari tangan pemikir (yang berada di negara-negara) Barat.

Di kalangan universitas Islam Indonesia, para pengajar filsafat Islam mengenal Shadra dari para pemikir yang tumbuh di Barat seperti Sayyid Hossein Nasr yang cukup dikenal di Indonesia. Tidak diragukan lagi, Nasr memiliki peran besar dalam memperkenalkan Shadra di kalangan kampus.

Di Tanah Air, para pegiat Shadra memikul tanggung jawab besar untuk menjelaskan pandangan filsafat Islam sebagaimana adanya dengan melakukan sebanyak mungkin penerjemahan karya-karya besar Shadra, maupun menuliskan konsep-konsep besarnya bagi publik Indonesia.

Pemikiran Shadra tidak mudah untuk dipahami, dan dia memiliki kerangka filosofis tertentu dengan ciri khasnya. Untuk itu, di sini diperlukan kerja keras dari para pegiat filsafat Islam dalam menebarkan pemikirannya sehingga bisa dicerna publik Tanah Air.

Sebagai perbandingan sederhana, Iran relatif berhasil mengembangkan filsafat Islam, karena ada usaha besar dari kalangan pegiatnya untuk menerjemahkan dan menulis pandangan berbagai karya filosof besar dunia ke dalam bahasa Persia.

Tampaknya di Indonesia upaya tersebut belum gencar dilakukan. Barangkali inilah  salah satu faktor yang menyebabkan pemikiran Shadra kurang dipahami sehingga belum menarik minat publik Indonesia.

Sejauh ini muncul sinisme bahwa filsafat Islam berada di menara gading, mengawang-awang di langit, dan tidak bisa menjawab problem kekinian. Padahal kalau melirik ke Barat, kita justru menemukan implementasi filsafat dalam bentuk filsafat terapan, filsafat praktis, filsafat sosial dll. Sebagai pegiat filsafat Shadra, bagaimana Anda melihat kontribusi filsafat Islam di ranah ilmu sosial dan humaniora?

Masalah kontribusi filsafat Islam dalam disiplin ilmu sosial di Indonesia, saya kira ini bukan hanya problem implementasi pemikiran Shadra, tapi juga filsafat Islam. Mengutip pemikir Iran, Mohsen Javadi, kita memiliki masalah dalam mendefinisikan filsafat yang hanya pada bertumpu pada metafisika semata. Kita tidak pernah menyebut mereka yang menggali politik dari sisi filosofis, ekonomi dari segi filosofis kemudian etika dari aspek filosofis sebagai filosof. Sedangkan di Barat, terminologi filsafat itu bukan hanya bertumpu kepada metafisika.

Karakteristik yang sangat khas filsafat Islam adalah pembatasan filsafat hanya pada metafisika, sehingga menyebabkan kurangnya para peneliti yang menggali lebih jauh sebenarnya tentang aspek filosofis ekonomi, hukum dll. Di Barat banyak kita temukan para filosof yang tidak paham tentang metafisika, sebab mereka hanya fokus terhadap satu kajian khusus misalnya tentang ekonomi.

Tampaknya kita butuh sebuah tangga pemikiran untuk menjembatani terjadinya tranformasi dari filsafat yang bertumpu pada metafisika semata menjadi filsafat terapan.

Saya pikir kritikan itu benar adanya bahwa di kalangan pemikir Islam belum gencar dilakukan upaya besar ke arah itu, meskipun dalam beberapa tahun terakhir tanda-tanda optimisme ke aras sana semakin terlihat nyata. Misalnya, di Iran sejumlah jurnal sudah membahas mengenai filsafat Islam terapan yang mulai mengisi kekosongan yang terjadi begitu lama di dunia filsafat Islam.

Nah, mungkin benar yang dikatakan Mohsen Javadi bahwa kita terlalu strict menggunakan terminologi filsafat hanya pada metafisika semata. Sementara di Barat, seseorang disebut sebagai filosof tidak mesti harus menguasai metafisika, bisa juga seorang ahli etika disebut filosof etika ketika ia mengkaji masalah tersebut secara filosofis.

Saya tertarik dengan istilah yang Anda gunakan tentang tangga pemikiran baru filsafat Islam. Bisa dijelaskan lebih jauh hal ini dalam konteks Indonesia?

Kalau kita meletakkan masalah ini ke dunia akademis Indonesia mungkin warnanya akan berbeda. Sebab, pemahaman filsafat Islam di Indonesia belum tertata secara baik, sehingga untuk masuk ke ranah filsafat terapan masih butuh kerja ekstra besar, karena basic-nya pun belum tertata dengan baik. Maksud saya, kalangan intelektual Indonesia, termasuk di universitas-universitas Islam hingga kini masih belum meletakkan keberadaan filsafat Islam sebagaimana mestinya. Filsafat Islam yang dipelajari merupakan bagian dari filsafat dengan pijakan humanistik.

Di sini, ICAS-Jakarta sebagai institusi yang concern di bidang filsafat Islam di Indonesia punya tantangan besar. Pertama, bagaimana dia mempromosikan filsafat Islam sebagaimana adanya. Kedua, upaya mempromosikan kajian-kajian filsafat terapan atau filsafat praktis, yang disebut di Iran sebagai falsafe-ye mozaf (the philosophy of).

Meski demikian, saya melihat terjadi kemajuan besar dengan adanya jurnal dan seminar filsafat Islam yang intensif digelar di Tanah Air. Semua ini menunjukkan optimisme bagi perkembangan filsafat  Islam di Indonesia.(IRIB Indonesia/PH)

0 komentar:

Posting Komentar