Pemerintah hendaknya memanfaatkan momentum peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women's Day), yang diperingati setiap tanggal 8 Maret. Momentum ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dalam melaksanakan kebijakan dan peraturan perundangan terkait hak perempuan.
"Saatnya kaum perempuan Indonesia memaknai secara positif peringatan ini, untuk meningkatkan kapasitas dirinya," ujar anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR, Jazuli Juwaini, Kamis (8/3/2012), di Jakarta.
Jazuli menyebutkan, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan, perempuan Indonesia masih menghadapi permasalahan klasik, seperti pendidikan yang rendah, angka kematian ibu yang tinggi, kekerasan dalam rumah tangga, kurangnya akses pemberdayaan ekonomi, dan ketertinggalan di bidang lainnya.
"Bahkan, jika dilihat dari satuan angka internasional seperti Millennium Development Goals, Human Development Index, Gender-related Development Index, dan Gender Empowerment Measure, taraf hidup perempuan Indonesia masih harus ditingkatkan," ungkap anggota Komisi VIII DPR ini. Komisi VIII membidangi urusan agama, sosial, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak.
Peningkatan kualitas hidup perempuan Indonesia, menurut Jazuli, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Jaminan dan perluasan akses perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, hukum, dan bidang lainnya memang sudah ada dalam berbagai peraturan perundangan. Namun implementasi dari kebijakan dan peraturan perundangan itu masih sangat kurang.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah harus lebih serius dalam melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan peraturan perundangan terkait hak perempuan sehingga tidak ada lagi hambatan bagi perempuan Indonesia untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Diskriminasi
Karena memilih berbeda, banyak kaum minoritas mengalami diskriminasi. Diskriminasi juga kerap dialami seseorang karena keperempuannya. Sikap diskriminatif terhadap kelompok lain yang berbeda, baik terkait gender dan keyakinan, terpelihara karena masih kuatnya mindset dan stigma di masyarakat. Hal ini harus dilawan dengan pemberontakan damai, dengan menggali empati kaum mayoritas terhadap kaum minoritas korban diskriminasi. Perempuan, dengan kekuatannya dan pengalamannya, dapat mengambil peran melakukan perubahan ini.
"Kemampuan berempati harus ditumbuhkan. Empati merupakan cara untuk hidup damai. Semua pihak harus terlibat untuk melawan diskriminasi, perempuan dan laki-laki bisa terlibat dengan berempati terhadap korban diskriminasi, bisa melihat dari sisi korban bisa saling menghargai," jelas Maria Ulfa Anshor, aktivis perempuan yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, kepada Kompas Female seusai peluncuran novel realis, Maryam, di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (7/3/2012).
Salah satu cara menggali empati terhadap korban diskriminasi adalah melalui cerita dan buku. Bagi Maria Ulfa, cerita dalam sebuah buku dapat memengaruhi budaya, bahkan mendorong kebijakan. Buku termasuk novel, merupakan pendekatan yang lebih lembut dan cair, untuk mendorong orang lain melakukan perubahan termasuk pemberontakan secara damai, dengan menumbuhkan empati yang kemudian perlahan mengubah mindset dan stigma dalam masyarakat.
Maria Ulfa menyebutkan, sejumlah novel yang memiliki pengaruh kuat menyuarakan ketidakadilan dan diskriminasi, dengan figur perempuan yang mampu mengambil peran membuat perubahan. Di antaranya, Perempuan Berkalung Sorban (Abidah El Khalieqy), dan yang terbaru Maryam karangan Okky Madasari.
"Pendekatan kepada masyarakat untuk melakukan pemberontakan damai melalui novel yang menumbuhkan empati seperti ini, ada, tapi belum banyak. Seperti Maryam yang merupakan model bagaimana perempuan mengambil peran untuk melakukan upaya pemberontakan dengan damai. Pengaruh perempuan lebih kuat, karena ceritanya lebih alami, tidak dibuat-buat," jelas Maria Ulfa.
Menurut Maria Ulfa, novel realis Maryam merupakan salah satu pintu masuk untuk melihat pergulatan, fakta-fakta tentang kelompok yang mengalami diskriminasi, khususnya perempuan. Sosok Maryam, bagi Maria Ulfa, adalah perempuan yang tegar, kuat, mampu mengambil keputusan dan dapat menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya, terutama dari kelompok minoritas untuk mampu bersikap.
Perempuan, lanjutnya, harus bisa bersikap terhadap lingkungannya, termasuk terhadap kebijakan negara yang diskriminatif. Memperingati Hari Perempuan Internasional, Maria Ulfa menekankan pentingnya bagi perempuan memperkuat jaringan. Melalui jaringan, perempuan dapat menghimpun dukungan untuk melakukan pendampingan dan advokasi terhadap korban diskriminasi, termasuk mengadvokasi kebijakan yang lebih ramah perempuan dan kelompok minoritas. Untuk memperkuat jaringan, dibutuhkan lebih banyak perempuan yang berani bersikap dan melakukan pemberontakan damai, diawali dengan berempati untuk kemudian beraksi mengakhiri diskriminasi.
Tradisi, Kodrat, Konstruksi Jender
Jender sering disalahpahami sebagai perempuan, padahal bicara tentang bentukan dan konstruksi sosial mengenai nilai, peran, hak dan kewajiban, apa yang pantas dan tidak pantas, yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki.
Pada Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2012 ini, miris membaca berita tentang Wina Mayua (32) di Merauke, Papua, yang melahirkan anak keenamnya di dalam gubuk seadanya di halaman belakang rumah (Kompas, Rabu 29 Februari 2012).
Tradisi
Tradisi suku Merauke menyuruh perempuan melahirkan di tempat yang disebut "kandang hina", yang pemali didekati laki-laki. Ibu dan bayi harus tinggal, sering di udara terbuka di atas tanah saja, seminggu atau sampai tali pusar terlepas dan lukanya mengering. Wina yang masih muda sudah terlihat tua, letih digilas oleh praktik yang menyebabkan entah berapa banyak perempuan mati sia-sia, juga anak tak terselamatkan nyawanya.
Di belahan negara lain seperti di China, banyak perempuan harus merelakan rahimnya membengkak kelelahan diisi janin-janin yang terus dilahirkan, cuma untuk dibuang bila yang lahir perempuan (Message from an Unknown Chinese Mother, kisah nyata, Xinran, 2011). Sementara di India, misalnya, meski secara resmi sudah dilarang sejak 1961, dalam kenyataannya masih hidup praktik mas kawin yang wajib dibayarkan keluarga perempuan kepada keluarga suami, yang dapat berbuahkan penganiayaan (sering dalam bentuk pembakaran) hingga kematian bila perempuan tak sanggup melunasi.
Cerita di atas terasa sangat mengerikan dan sepertinya jauh dari kehidupan kita. Mungkin banyak dari kita akan bilang, "Tetapi perempuan sekarang kan bisa melakukan apa saja. Bisa jadi pengusaha, menyetir mobil, bahkan jadi menteri dan lebih berkuasa daripada laki-laki." Ada yang berpendapat perempuan perlu pendidikan tinggi agar dapat mendidik anak dan mendampingi suami dengan baik, tetapi tidak usah bekerja di luar rumah karena kodratnya sebagai perempuan adalah menjadi ibu dan melayani suami.
Kodrat
Salah satu topik paling mengundang perdebatan masyarakat, perempuan dan laki-laki, adalah topik tentang perempuan. "Kodrat" selalu dibawa dalam percakapan, kadang kuat dibalut emosi, sepertinya dengan pemaknaan aneka rupa sesuai yang diinginkan penggunanya. Mulai dari kodrat perempuan itu "lemah lembut", "emosional", "tergantung dan patuh pada laki-laki", "menjadi ibu", hingga ke "lebih senang shopping".
Entah apa yang dimaksud "kodrat" di situ. Bila kamus menyatakan "kodrat" bermakna "sesuatu yang terberi, tidak dapat ditentang manusia, sifat asli, sifat bawaan", sesungguhnya "kodrat" (mayoritas) perempuan yang berbeda dari laki-laki itu ada pada aspek reproduksinya yang khas, tertampil dalam mengalami menstruasi, serta (berpotensi) hamil, melahirkan, dan menyusui dengan ASI. Itu saja. Yang lainnya adalah akibat, pemahaman dan bentukan masyarakat, yang sering dipercaya sebagai kebenaran, dan dipertahankan dari waktu ke waktu.
Konstruksi Jender
Sementara itu, persoalan perempuan dan konstruksi jender adalah persoalan lintas disiplin, lintas sektor, relevan dibahas di semua bidang, karena manusia itu setengahnya perempuan, setengahnya lagi laki-laki. Meski demikian, kajian ini masih dianggap tidak penting atau sering dipahami secara salah, sebagai "ingin memerangi laki-laki".
Perempuan dan "jender" itu berbeda meski erat terkait satu dan lainnya. "Jender" sering disalahpahami sebagai "perempuan", padahal bicara tentang bentukan dan konstruksi sosial mengenai nilai, peran, hak dan kewajiban, apa yang pantas dan tidak pantas, yang dilekatkan pada perempuan dan laki-laki. Misalnya tentang tawuran dan perilaku-perilaku berisiko yang banyak dilakukan laki-laki, tentang Wina atau banyak perempuan lain yang rentan mati sia-sia dalam proses melahirkan karena pelanggengan praktik yang merendahkan (mengapa gubuk untuk melahirkan disebut "rumah hina?") Atau tentang kekerasan seksual yang bisa terjadi pada perempuan dan laki-laki, tetapi berdampak berbeda, tentang bagaimana perusakan alam dan perang bisa dialami secara sama oleh perempuan dan laki-laki (karena sama-sama manusia), tetapi juga berimplikasi berbeda karena keduanya dilekati dengan nilai dan peran berbeda.
Kajian jender menjadi kajian akademik yang sulit dipahami, terutama karena selama ratusan tahun orang membawa pengalaman pribadi, nilai dan kebiasaan hidup dalam masyarakat sebagai "kebenaran" dan terus melanggengkannya, tidak lagi kritis terhadap praktik peminggiran perempuan bahkan dalam dunia akademik.
Tentang hal di atas, menarik untuk mengutip frase dalam pidato ilmiah bapak psikoanalisis, Sigmund Freud, tentang femininitas, yang ditulisnya tahun 1932: "Ladies and gentlemen throughout history people have knocked their heads against the riddle of the nature of femininity - Nor will you have escaped worrying over this problem – those of you who are men; to those of you who are women this will not apply – you are yourselves the problem". Jika diterjemahkan bebas, lebih kurang: "Saudara-saudara, sepanjang sejarah orang berpikir keras mencoba memahami teka-teki femininitas - Anda kaum laki-laki, juga tidak luput mengkhawatirkan persoalan ini; untuk Anda yang perempuan, ini tidak berlaku, karena Anda sendirilah masalah yang sedang diselidiki itu".
Ilmu pengetahuan itu tidak lepas dari bias jender. Cukup banyak orang hingga kini, termasuk ilmuwan psikologi, seperti Freud, membahas dan mengambil kesimpulan tentang perempuan, tanpa bertanya dan mencoba memahami dari sisi perempuan itu sendiri yang mengalami dan menjalani hidupnya. Bahkan, ilmuwan perempuan tidak jarang membawa bias jender itu. Karena itu, kajian jender yang mengungkap bias dan mengupayakan pengetahuan adil jender menjadi penting. (IRIB Indonesia/Kompas/RA)