Topik
tentang senjata nuklir kembali mencuat dalam sejumlah diskusi dan
negosiasi dalam persiapan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-19 dan KTT
terkait di Nusa Dua, Bali, setelah "mati suri" selama hampir sepuluh
tahun.
Embrio diskusi tentang senjata nuklir di kawasan ASEAN muncul dalam pertemuan para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia, 27 November 1971.
Menurut informasi dari laman resmi ASEAN, saat itu para menteri menyepakati perlunya zona damai, kemerdekaan, dan netralitas yang termaktub dalam dokumen "Zone of Peace, Freedom and Neutrality" (ZOPFAN).
ZOPFAN adalah sebuah pernyataan tentang niat politik negara-negara anggota ASEAN untuk sama-sama menghormati zona damai, kemerdekaan, dan netralitas di kawasan.
Parapemimpin kelompok itu juga menyepakati gagasan tentang ASEAN yang bebas dari intervensi kekuatan luar.
Konsep tentang zona damai itu kemudian dibahas kembali dalam KTT di Manila, Filipina, pada 1987. Saat itu, para pemimpin ASEAN menandatangani sebuah protokol yang mengamendemen sebuah traktat atau perjanjian persahabatan dan kerja sama (Treaty of Amity and Cooperation/TAC).
Pada pertemuan di Manila itu, para pemimpin ASEAN menyambut baik penandatanganan perjanjian tentang penghapusan senjata nuklir untuk jangka pendek dan menengah oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Sejalan dengan perjanjian itu, ASEAN berkomitmen untuk membuat zona damai, kebebasan, dan netral menjadi kenyataan; sekaligus mewujudkan zona bebas senjata nuklir di ASEAN (Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone/SEANWFZ).
Negosiasi kemudian beralih ke KTT Bangkok pada Desember 1995. Dalam pertemuan itu, kepala negara/pemerintahan sepuluh negara ASEAN menandatangani perjanjian zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara.
Perjanjian yang mulai berlaku pada 1997 itu adalah salah satu kontribusi utama ASEAN dalam usaha untuk memusnahkan senjata nuklir secara utuh.
Jaminan keamanan
Memasuki era 2000-an, ikhtiar untuk melindungi ASEAN dari bahaya senjata nuklir seperti "mati suri". Salah satu penyebabnya adalah rivalitas antara upaya ASEAN untuk melindungi diri dan kuatnya resistensi sejumlah negara pemilik senjata nuklir untuk melucuti diri.
Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, Djauhari Oratmangun, dalam pernyataan kepada wartawan di sela-sela pertemuan pejabat tinggi ASEAN di Nusa Dua menyebut satu hal yang masih menjadi bahan negosiasi kedua pihak, yaitu soal jaminan keamanan negatif (negative security assurances).
Adadua jaminan keamanan dalam konteks persenjataan nuklir, yaitu jaminan keamanan negatif dan jaminan keamanan positif. Jaminan keamanan negatif adalah semacam komitmen dari negara pemilik senjata nuklir untuk tidak menggunakan senjata itu untuk menyerang negara yang tidak memiliki senjata nuklir.
Sedangkan jaminan keamanan positif adalah niat negara pemilik senjata nuklir untuk membantu negara bukan pemilik senjata nuklir yang menjadi korban serangan senjata mematikan itu.
Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan China adalah lima negara yang memiliki senjata nuklir.
Kelima negara yang juga anggota tetap Dewan Keamanan PBB itu terikat dalam "Non-Proliferation Treaty" yang bertujuan untuk melakukan pencegahan terhadap penyebaran senjata nuklir dan teknologi persenjataan lainnya.
Sampai saat ini belum ada perjanjian bersama tentang jaminan keamanan negatif. Masing-masing negara pemilik senjata nuklir itu hanya mengeluarkan janji sepihak untuk memenuhi jaminan keamanan negatif, yaitu janji untuk tidak menyerang negara bukan pemilik senjata nuklir. AS misalnya.
MenurutCenterfor Strategic and International Studies, Amerika Serikat telah menyerahkan janji untuk tidak menyerang negara bukan pemilik senjata nuklir kepada PBB pada 1995.
Organisasi yang berbasis di Amerika Serikat dan pernah diketuai oleh mantan Senator AS Sam Nunn itu mengutip dokumen janji AS yang ternyata memuat sejumlah pengecualian.
Dokumen itu menyebutkan AS tidak akan menggunakan senjata nuklir untuk menyerang negara yang tidak memiliki senjata nuklir yang tercatat dalam "Non-Proliferation Treaty" kecuali telah terjadi serangan terhadap wilayah dan tentara Amerika Serikat, termasuk serangan terhadap sekutu dan negara yang memiliki perjanjian keamanan dengan AS.
Tarik ulur tentang jaminan keamanan negatif itu menjadi salah satu isu menonjol dalam pembahasan zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara.
Meski demikian, negara-negara anggota ASEAN tetap menggulirkan isu itu karena pada dasarnya Dewan Keamanan PBB sendiri telah mengeluarkan resolusi 984 yang salah satu klausulnya berisi desakan kepada negara-negara anggota untuk mengedepankan negosiasi dengan niat baik dalam rangka menentukan tolok ukur menuju perlucutan senjata nuklir secara tuntas dalam pengawasan dunia internasional.
Setelah terkatung-katung selama kurang lebih sepuluh tahun, isu tentang senjata nuklir kembali menggema di Asia Tenggara, kali ini dari Jakarta.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pernyataan sebagai Ketua ASEAN dalam KTT ASEAN ke-18 di Jakarta, 7-8 Mei 2011, menyatakan negara-negara ASEAN sepakat untuk terus mendorong upaya internasional guna mencapai dunia yang bebas senjata nuklir.
Untuk itu, para pemimpin ASEAN berniat untuk menjalin kerja sama dengan zona-zona bebas senjata nuklir lainnya untuk mengimplementasikan prinsip dan tujuan traktat anti senjata nuklir secara utuh.
Presiden Yudhoyono juga menyatakan perlunya rencana aksi tentang implementasi perjanjian zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara.
"Termasuk upaya melanjutkan dialog dengan negara-negara pemilik senjata nuklir tentang isu-isu menonjol, sekaligus meminta mereka untuk segera menandatangani protokol zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara," demikian pernyataan tersebut.
Pernyataan Ketua ASEAN itu juga menyinggung tentang dukungan terhadap upaya perlucutan senjata nuklir dan mendorong penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai.
Tantangan Indonesia
Pernyataan Yudhoyono itu adalah tantangan bagi Indonesia untuk berperan karena negeri ini kini menjadi tuan rumah sekaligus ketua ASEAN.
Untuk menindaklanjuti hal itu, agenda awal KTT di Bali dirancang salah satunya untuk membahas masalah senjata nuklir.
Salah satu agenda awal itu adalah pertemuan antara Komite Eksekutif Komisi Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) dan perwakilan lima negara pemilik senjata nuklir, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan China.
Djauhari Oratmangun mengatakan, pertemuan kedua pihak mengalami kemajuan, ditandai dengan telah adanya basis dokumen tertulis sejak tahun ini setelah perundingan macet selama sepuluh tahun.
Perkembangan positif menuju aksesi protokol zona bebas senjata nuklir ASEAN itu juga ditandai dengan terus adanya pertemuan konsultatif kedua pihak.
"Dalam tahun ini, kita sudah bertemu sebanyak tiga kali setelah sebelumnya di Jenewa dan New York," kata Djauhari yang juga ketua forum pejabat tinggi ASEAN.
Direktur Politik dan Keamanan ASEAN Kementerian Luar Negeri, Ade Padmo Sarwono mengatakan, lima negara pemilik senjata nuklir harus menghormati dan mendukung proses aksesi Protokol Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara.
Ia juga mengatakan, ASEAN harus memanfaatkan momentum yang baik, yaitu pembahasan protokol tentang zona bebas senjata nuklir dalam Sidang Umum PBB ke-66 tahun ini.
Selain membahas protokol zona bebas senjata nuklir, pertemuan antara ASEAN dan negara-negara pemilik senjata nuklir itu juga membahas kemungkinan kerja sama dengan IAEA (Badan Energi Atom Internasional) dan pengajuan Resolusi mengenai Traktat Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara di Sidang Majelis Umum PBB.
Keterangan pers dari Kementerian Luar Negeri menyatakan, KTT Bali dirancang untuk menghasilkan sejumlah deklarasi, yaitu Deklarasi KTT Asia Timur mengenai Prinsip-Prinsip Hubungan yang Saling Menguntungkan, Deklarasi KTT Asia Timur mengenai Konektivitas ASEAN, serta Deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Komprehensif antara ASEAN dan PBB.
Selain itu juga akan ada Deklarasi Bali mengenai Komunitas ASEAN dalam Komunitas Global Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini direncanakan memuat ketentuan tentang senjata nuklir, yang intinya mendukung pembangunan zona bebas senjata nuklir regional dan bebas dari segala senjata pemusnah massal di dalam koridor penerapan hukum nasional dan internasional.
Kemudian, melanjutkan konsensus tentang isu-isu menonjol terkait dengan traktat zona bebas senjata nuklir ASEAN dan protokolnya, serta mengejar pengesahan negara-negara pemilik senjata nuklir.
Selain itu, ASEAN mengembangkan pendekatan yang terkoordinasi dan berkontribusi kepada peningkatan keamanan nuklir.
Mewujudkan zona bebas senjata nuklir adalah tugas berat, terutama bagi Indonesia sebagai ketua ASEAN. Pekerjaan ini memiliki tantangan berlapis. Saat ini--pada lapis pertama--negara-negara ASEAN berjibaku untuk merangkul lima negara pemilik senjata nuklir untuk masuk dalam zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara.
Kalaupun berhasil pada lapis pertama, ASEAN hendaknya tidak kehilangan kesadaran bahwa masih ada lapis kedua yang juga mengandung persoalan, yaitu keberadaan negara yang diduga memiliki senjata nuklir, seperti India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel.
Negara-negara itu tidak terikat dengan perjanjian manapun, sehingga bisa "bergerak" dengan sangat bebas.
Embrio diskusi tentang senjata nuklir di kawasan ASEAN muncul dalam pertemuan para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia, 27 November 1971.
Menurut informasi dari laman resmi ASEAN, saat itu para menteri menyepakati perlunya zona damai, kemerdekaan, dan netralitas yang termaktub dalam dokumen "Zone of Peace, Freedom and Neutrality" (ZOPFAN).
ZOPFAN adalah sebuah pernyataan tentang niat politik negara-negara anggota ASEAN untuk sama-sama menghormati zona damai, kemerdekaan, dan netralitas di kawasan.
Parapemimpin kelompok itu juga menyepakati gagasan tentang ASEAN yang bebas dari intervensi kekuatan luar.
Konsep tentang zona damai itu kemudian dibahas kembali dalam KTT di Manila, Filipina, pada 1987. Saat itu, para pemimpin ASEAN menandatangani sebuah protokol yang mengamendemen sebuah traktat atau perjanjian persahabatan dan kerja sama (Treaty of Amity and Cooperation/TAC).
Pada pertemuan di Manila itu, para pemimpin ASEAN menyambut baik penandatanganan perjanjian tentang penghapusan senjata nuklir untuk jangka pendek dan menengah oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Sejalan dengan perjanjian itu, ASEAN berkomitmen untuk membuat zona damai, kebebasan, dan netral menjadi kenyataan; sekaligus mewujudkan zona bebas senjata nuklir di ASEAN (Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone/SEANWFZ).
Negosiasi kemudian beralih ke KTT Bangkok pada Desember 1995. Dalam pertemuan itu, kepala negara/pemerintahan sepuluh negara ASEAN menandatangani perjanjian zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara.
Perjanjian yang mulai berlaku pada 1997 itu adalah salah satu kontribusi utama ASEAN dalam usaha untuk memusnahkan senjata nuklir secara utuh.
Jaminan keamanan
Memasuki era 2000-an, ikhtiar untuk melindungi ASEAN dari bahaya senjata nuklir seperti "mati suri". Salah satu penyebabnya adalah rivalitas antara upaya ASEAN untuk melindungi diri dan kuatnya resistensi sejumlah negara pemilik senjata nuklir untuk melucuti diri.
Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, Djauhari Oratmangun, dalam pernyataan kepada wartawan di sela-sela pertemuan pejabat tinggi ASEAN di Nusa Dua menyebut satu hal yang masih menjadi bahan negosiasi kedua pihak, yaitu soal jaminan keamanan negatif (negative security assurances).
Adadua jaminan keamanan dalam konteks persenjataan nuklir, yaitu jaminan keamanan negatif dan jaminan keamanan positif. Jaminan keamanan negatif adalah semacam komitmen dari negara pemilik senjata nuklir untuk tidak menggunakan senjata itu untuk menyerang negara yang tidak memiliki senjata nuklir.
Sedangkan jaminan keamanan positif adalah niat negara pemilik senjata nuklir untuk membantu negara bukan pemilik senjata nuklir yang menjadi korban serangan senjata mematikan itu.
Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan China adalah lima negara yang memiliki senjata nuklir.
Kelima negara yang juga anggota tetap Dewan Keamanan PBB itu terikat dalam "Non-Proliferation Treaty" yang bertujuan untuk melakukan pencegahan terhadap penyebaran senjata nuklir dan teknologi persenjataan lainnya.
Sampai saat ini belum ada perjanjian bersama tentang jaminan keamanan negatif. Masing-masing negara pemilik senjata nuklir itu hanya mengeluarkan janji sepihak untuk memenuhi jaminan keamanan negatif, yaitu janji untuk tidak menyerang negara bukan pemilik senjata nuklir. AS misalnya.
MenurutCenterfor Strategic and International Studies, Amerika Serikat telah menyerahkan janji untuk tidak menyerang negara bukan pemilik senjata nuklir kepada PBB pada 1995.
Organisasi yang berbasis di Amerika Serikat dan pernah diketuai oleh mantan Senator AS Sam Nunn itu mengutip dokumen janji AS yang ternyata memuat sejumlah pengecualian.
Dokumen itu menyebutkan AS tidak akan menggunakan senjata nuklir untuk menyerang negara yang tidak memiliki senjata nuklir yang tercatat dalam "Non-Proliferation Treaty" kecuali telah terjadi serangan terhadap wilayah dan tentara Amerika Serikat, termasuk serangan terhadap sekutu dan negara yang memiliki perjanjian keamanan dengan AS.
Tarik ulur tentang jaminan keamanan negatif itu menjadi salah satu isu menonjol dalam pembahasan zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara.
Meski demikian, negara-negara anggota ASEAN tetap menggulirkan isu itu karena pada dasarnya Dewan Keamanan PBB sendiri telah mengeluarkan resolusi 984 yang salah satu klausulnya berisi desakan kepada negara-negara anggota untuk mengedepankan negosiasi dengan niat baik dalam rangka menentukan tolok ukur menuju perlucutan senjata nuklir secara tuntas dalam pengawasan dunia internasional.
Setelah terkatung-katung selama kurang lebih sepuluh tahun, isu tentang senjata nuklir kembali menggema di Asia Tenggara, kali ini dari Jakarta.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pernyataan sebagai Ketua ASEAN dalam KTT ASEAN ke-18 di Jakarta, 7-8 Mei 2011, menyatakan negara-negara ASEAN sepakat untuk terus mendorong upaya internasional guna mencapai dunia yang bebas senjata nuklir.
Untuk itu, para pemimpin ASEAN berniat untuk menjalin kerja sama dengan zona-zona bebas senjata nuklir lainnya untuk mengimplementasikan prinsip dan tujuan traktat anti senjata nuklir secara utuh.
Presiden Yudhoyono juga menyatakan perlunya rencana aksi tentang implementasi perjanjian zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara.
"Termasuk upaya melanjutkan dialog dengan negara-negara pemilik senjata nuklir tentang isu-isu menonjol, sekaligus meminta mereka untuk segera menandatangani protokol zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara," demikian pernyataan tersebut.
Pernyataan Ketua ASEAN itu juga menyinggung tentang dukungan terhadap upaya perlucutan senjata nuklir dan mendorong penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai.
Tantangan Indonesia
Pernyataan Yudhoyono itu adalah tantangan bagi Indonesia untuk berperan karena negeri ini kini menjadi tuan rumah sekaligus ketua ASEAN.
Untuk menindaklanjuti hal itu, agenda awal KTT di Bali dirancang salah satunya untuk membahas masalah senjata nuklir.
Salah satu agenda awal itu adalah pertemuan antara Komite Eksekutif Komisi Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) dan perwakilan lima negara pemilik senjata nuklir, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan China.
Djauhari Oratmangun mengatakan, pertemuan kedua pihak mengalami kemajuan, ditandai dengan telah adanya basis dokumen tertulis sejak tahun ini setelah perundingan macet selama sepuluh tahun.
Perkembangan positif menuju aksesi protokol zona bebas senjata nuklir ASEAN itu juga ditandai dengan terus adanya pertemuan konsultatif kedua pihak.
"Dalam tahun ini, kita sudah bertemu sebanyak tiga kali setelah sebelumnya di Jenewa dan New York," kata Djauhari yang juga ketua forum pejabat tinggi ASEAN.
Direktur Politik dan Keamanan ASEAN Kementerian Luar Negeri, Ade Padmo Sarwono mengatakan, lima negara pemilik senjata nuklir harus menghormati dan mendukung proses aksesi Protokol Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara.
Ia juga mengatakan, ASEAN harus memanfaatkan momentum yang baik, yaitu pembahasan protokol tentang zona bebas senjata nuklir dalam Sidang Umum PBB ke-66 tahun ini.
Selain membahas protokol zona bebas senjata nuklir, pertemuan antara ASEAN dan negara-negara pemilik senjata nuklir itu juga membahas kemungkinan kerja sama dengan IAEA (Badan Energi Atom Internasional) dan pengajuan Resolusi mengenai Traktat Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara di Sidang Majelis Umum PBB.
Keterangan pers dari Kementerian Luar Negeri menyatakan, KTT Bali dirancang untuk menghasilkan sejumlah deklarasi, yaitu Deklarasi KTT Asia Timur mengenai Prinsip-Prinsip Hubungan yang Saling Menguntungkan, Deklarasi KTT Asia Timur mengenai Konektivitas ASEAN, serta Deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Komprehensif antara ASEAN dan PBB.
Selain itu juga akan ada Deklarasi Bali mengenai Komunitas ASEAN dalam Komunitas Global Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini direncanakan memuat ketentuan tentang senjata nuklir, yang intinya mendukung pembangunan zona bebas senjata nuklir regional dan bebas dari segala senjata pemusnah massal di dalam koridor penerapan hukum nasional dan internasional.
Kemudian, melanjutkan konsensus tentang isu-isu menonjol terkait dengan traktat zona bebas senjata nuklir ASEAN dan protokolnya, serta mengejar pengesahan negara-negara pemilik senjata nuklir.
Selain itu, ASEAN mengembangkan pendekatan yang terkoordinasi dan berkontribusi kepada peningkatan keamanan nuklir.
Mewujudkan zona bebas senjata nuklir adalah tugas berat, terutama bagi Indonesia sebagai ketua ASEAN. Pekerjaan ini memiliki tantangan berlapis. Saat ini--pada lapis pertama--negara-negara ASEAN berjibaku untuk merangkul lima negara pemilik senjata nuklir untuk masuk dalam zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara.
Kalaupun berhasil pada lapis pertama, ASEAN hendaknya tidak kehilangan kesadaran bahwa masih ada lapis kedua yang juga mengandung persoalan, yaitu keberadaan negara yang diduga memiliki senjata nuklir, seperti India, Pakistan, Korea Utara, dan Israel.
Negara-negara itu tidak terikat dengan perjanjian manapun, sehingga bisa "bergerak" dengan sangat bebas.
0 komentar:
Posting Komentar