Rabu, 16 November 2011

Ghadir Khum: Satu Peristiwa untuk Seluruh Manusia



من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم والي من والاه و عاد من عاداه
 
"Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolong Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya" (Hadis Rasulullah Saw)

Setelah hampir 23 tahun menanggung beban tugas membumikan risalah yang berat, suatu hari Rasulullah mendengar panggilan pulang ke haribaan ilahi. Panggilan itu didengarnya, sementara risalahnya masih belum jauh membumi. Kota Madinah yang dibinanya dengan pedoman dan ajaran Islam dan Tauhid saat itu justru terancam serangan musuh, kaum pendamba kenikmatan duniawi, dan mereka yang hatinya penuh dengan gejolak dendam kesumat kepada Islam dan pendirinya. Mereka ingin meluluhlantakkan bangunan Islam untuk dikemudian hari mereka bangun kembali kebudayaan jahiliah yang sudah kehilangan daya pikatnya. Bayangan kelam ini sudah sekian lama menggelayuti detak hati Rasul.

Sementara itu, demi kelangsungan eksistensi Islam dan pengaturan umat Islam sesuai dengan perintah Allah, benak Rasul selalu tertuju kepada Ali Bin Abi Thalib as, sepupu beliau yang tumbuh dan besar dalam asuhan dan didikan beliau sendiri. Karena itu, meski keadaan sering tidak mendukung, dalam banyak kesempatan Rasul tetap mengemukakan masalah siapa yang akan menggantikan beliau.
Sementara itu, di hari-hari akhir hayat beliau, ancaman berbagai pihak yang tidak setuju dengan kebijakan Rasul nampak semakin serius sehingga hati beliau semakin galau.

Dalam keadaan sedemikian rupa, beliau memobilisasi umat Islam untuk menyelenggarakan ibadah haji sekolosal mungkin. Seruan haji Rasul itu membuat jumlah jemaah haji mencapai 70.000 ribu orang, atau menurut riwayat lain yang lebih kuat dan popular jumlahnya bahkan mencapai 120.000 orang.  Dalam haji akbar ini beliau ingin mematri umat Islam dengan ajaran-ajaran samawinya dengan bentuk yang amat monumental. Beliau mengajarkan apa yang seharusnya beliau ajarkan menyangkut pelaksanaan manasik haji beserta segala pesan yang terkandung di dalamnya.

Lebih dari itu, ada satu pesan dan perkara lain yang sebenarnya sudah sering beliau kemukakan kepada umat, namun saat itu harus beliau kemukakan lagi agar terungkap secara lebih formal, tegas, dan didengar umat. Pesan yang juga berasal dari wahyu ilahi itu tak lain adalah pesan dan wasiat tentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as sepeninggal beliau.

Ibadah haji pun usai. Manasik demi manasik terlaksana. Rasul kemudian menggiring lautan jemaah haji ke luar kota suci Mekah setelah beliau mengucapkan salam perpisahan kepada Baitullah dan tanah kelahirannya tersebut.
Tanggal 18 Dzulhijjah, karavan haji tiba di sahara Juhfah. Di sahara inilah karavan yang berasal dari berbagai daerah dan kabilah akan berpisah satu dengan yang lain. Di tempat itu, wahyu ilahi turun menyapa kalbu suci Rasul:

ياايهاالرسول بلغ ماانزل اليك من ربك فان لم تفغل فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس
"Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhanmu kepada-Mu, dan jika hal ini tidak engkau lakukan, maka engkau (sama saja dengan) tidak menunaikan (sama sekali) risalah-Nya, dan Allah akan menjagamu dari (gangguan) manusia."

Wahyu ini turun dengan nada tegas dan tidak memberi peluang bagi Rasul untuk tidak melaksanakannya. Sedemikian vital tugas ini sehingga jika beliau tidak melaksanakannya, maka beliau akan dianggap tidak melaksanakan risalah Allah sama sekali. Dengan begitu akan runtuh semua fondasi risalah yang telah beliau bangun selama ini. Demi terlaksananya tugas ini, Allah berjanji akan melindungi Rasul dari gangguan musuh, dan karena itu tidak ada pula peluang bagi Rasul untuk merisaukan resiko pelaksanaan tugas tersebut.

Rasulpun bertekad untuk menyampaikan wahyu ilahi tersebut kepada umat. Dalam rangka ini, beliau memerintahkan supaya rombongan yang ada didepan kembali ke belakang, sedangkan rombongan yang di belakang beliau perintahkan agar segera menyusul ke tempat beliau berada. Sesuai instruksi Rasul, semua karavan terkumpul di suatu padang gersang yang hanya ditumbuhi rumput-rumput kering berduri dan segelintir pohon. Di tempat itu, karavan terkonsentrasi di tepi sebuah telaga tua di daerah Khum. Terik panas matahari yang tepat berada di atas kepala menjilat tubuh semua orang. Tanah dan bebatuan seakan membara sehingga banyak orang yang terpaksa menggunakan pakaiannya sebagai alas untuk menahan sengatan panas.

Dalam kondisi sedemikian sulit itu, semua orang bertanya-tanya dalam hati, gerangan apakah yang hendak dilakukan Rasul? Karena itu, perhatian semua orang terkonsentrasi kepada beliau.  Benar, di saat benak para sahabat Rasul sedang diterpa badai penasaran itulah beliau hendak menentukan garis perjalanan sejarah umat dan ajaran Islam, ajaran yang telah beliau perjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata. Di tepi telaga itulah beliau hendak mencetuskan penggalan sejarah yang determinan bagi kehidupan spiritual dan materi umat manusia.

Peristiwa bersejarahpun berlangsung selama hampir lima jam di lokasi sekitar telaga Khoum tersebut dalam cuaca alam yang sedemikian panas. Menjelang pernyataan wasiat Rasul itu, suasana yang tadinya riuh tiba-tiba tercekam kebisuan. Gemerincing kalung-kalung onta dan kuda bahkan ikut tertelan kesunyian.

Entah karena panasnya hawa yang menyengat atau mungkin karena sedemikian besarnya risalah yang hendak beliau sampaikan, wajah nurani beliau saat itu nampak bersimbah peluh. Beliau tampil ke atas mimbar yang terbuat dari beberapa bongkah batu dan pelana onta. Semua mata tertatap kepada wajah beliau yang penuh wibawa meski sudah tergurat usia 63 tahun itu. Sedemikian anggunnya wajah beliau saat itu sehingga tatapan yang tersorotnya kepadanya dapat melunturkan panasnya sengatan surya dan letihnya perjalanan panjang yang tadinya dirasakan semua orang.

Meskipun terjadi lebih dari 1400 tahun silam, tepatnya pada tahun 10 Hijriah, namun kenangan peristiwa besar itu tetap abadi hingga sekarang. Pesan yang terungkap dalam peristiwa itu tetap terngiang dalam benak umat. Sebab, pesan yang disampaikan Rasul saat itu bukanlah pesan yang relefansinya tersekat oleh faktor ruang dan waktu dimana beliau berada, melainkan pesan universal tentang pembangunan sebuah negeri makmur yang diidam-idamkan umat. Yaitu negeri yang jika pemimpinnya tidak terpenjara di dalam rumahnya, niscaya ajaran Islam yang murni akan terus mengalir menyusuri lorong-lorong sejarah, dan tidak akan ada lagi kebangkitan kaum celaka dan jahil yang sudah tergilas oleh Islam.

Rasulullah Saw bersabda,

وان وليتموها عليا وجدتموه هاديا مهديا يسلك بكم علىالطريق المستقيم

"Jika kalian menyerahkan kepemimpinan kepada Ali, niscaya kalian akan mendapatkannya sebagai pemberi petunjuk kalian dan dia akan berjalan di atas jalan yang lurus bersama kalian."

Dalam rangka memperingati peristiwa yang dikenal dengan peristiwa Ghadir Khum (Telaga Khum) itu, yang harus disayangkan ialah kenyataan punahnya kesegaran alam spiritual umat akibat terabaikannya pesan agung Rasul tersebut. Duduk persoalannya bukan terletak pada masalah ternistakannya hak Imam Ali as, melainkan pada penyimpangan yang begitu fatal sehingga mengeringkan mata air yang sangat diperlukan bagi kehidupan materi dan spiritual umat manusia.

Mengenai keabsahan riwayat tentang peristiwa Ghadir Khum, layak disebutkan bahwa riwayat dan sanad-sanad yang mendukungnya sudah jauh menembus batas tawatur sehingga tidak mungkin lagi tergoyahkan oleh perjalanan masa.  Syeikh Dhiyauddin yang merupakan ulama besar Ahlussunnah Waljamaah mengatakan, "Seandainya hadis Ghadir Khum tidak bisa diterima, maka tidak akan lagi sesuatu yang bisa diterima dalam Islam." Dari kalangan Ahlussunnah, orang-orang yang meriwayatkan hadits Ghadir Khum meliputi para ahli sejarah, hadis, tafsir, kalam, dan bahkan ahli sastra.

Dari karya para ulama salaf atau ulama generasi terdahulu, kitab-kitab yang sudah ditemukan sejauh ini tentang Ghadir Khum ada sekitar 26 judul kitab yang diantaranya ialah sebagai berikut:

1. Kitab al-Wilayah karya Muhammad Bin Jarir al-Thabari (wafat 310 H), sejarawan ternama Islam dari kalangan Ahlussunah. Thabari nampaknya adalah ulama yang pertama kali menyusun kitab khusus tentang peristiwa Ghadir Khum. Dalam kitab itu ia meriwayatkan hadis al-Ghadir melalui 75 sanad.
2. Kitab al-Wilayah fi Thariqi Hadtst al-Ghadir karya Hafizh bin Uqdah al-Hamadani (wafat 333 H). Kitab ini menukil hadis al-Ghadir dari 105 jalur.
3. Kitab Thariq al-Hadits al-Ghadir karya Abu Thalib Abdullah bin Ahmad bin Zeid al-Anbari (wafat 356 H).
4. Kitab  Abu Bakar karya Muhammad bin Umar bin Muhammad Attamimi al-Baghdadi yang dikenal dengan julukan al-Ja'abi (wafat 355 H). Dalam kitab itu ia menyebutkan 125 riwayat tentang hadits al-Ghadir.

Selain kitab-kitab karya ulama Ahlussunnah tersebut, ada banyak lagi kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama Syiah tentang hadist al-Ghadir yang antara lain sebagai berikut:

1. Kitab Abaqat al-Anwar. Kitab ini terdiri atas 20 jilid dimana 12 diantaranya ditulis oleh sejarawan Mir Hamid Husain al-Hindi, dan selebihnya ditulis oleh puteranya.
2. Kitab al-Ghadir karya Allamah Abdulhusain al-Amini. Kitab 20 jilid ini bisa dikatakan sebagai eksiklopedia sejarah Islam dan kepemimpinan Imam Ali as.
Selain ulama salaf, para ulama abad modern juga banyak yang memuat, membahas, dan ikut mengabadikan hadits al-Ghadir. Para ulama dari kalangan Ahlussunah antara lain ialah:

1. Syaikh Banhani al-Beiruti  dalam kitabnya as-Syarif al-Muayyad.
2. Sayid Mukmin Shablanji al-Misri dalam kitabnya Nur al-Abshar.
3. Syaikh Muhammad Abduh dalam karyanya tafsir al-Manar.
4. Abdul Hamid Alusi al-Baghdadi dalam kitabnya Nasyr al-La'ali.
5. Syaikh Muhammad Habibullah al-Syanqiti dalam kitabnya Ta'liqat Mu'jam al-Adibba'.

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab-kitab sejarah, jumlah periwayat hadits al-Ghadir mencapai 125 orang.

0 komentar:

Posting Komentar