Senin, 30 April 2012

Kecemburuan Wanita adalah Kekufuran

TERDAPAT sebuah ungkapan dari Amirul Mukminin Imam Ali Abi Thalib yang seolah-olah memojokan kaum wanita dan meninggikan derajat kaum pria, “Jirâtul rijal minal îman, wa jîratul mar’ah kuffur” (kecemburuan pria adalah iman, sedang kecemburuan wanita adalah kekufuran).

Kalau ditilik secara harfiah, ucapan Amirul Mukminin itu memang terkesan menyudutkan kaum wanita; setiap wanita yang tindakannya berpijak di atas sikap cemburu akan berakibat pada kekufuran; sebaliknya, kecemburuan seorang lelaki merupakan bagian dari keimanan. Bila keberadaan pria dan wanita ditinjau dari sudut pandangan dunia, kita akan mengetahui bahwasanya Amirul Mukminin tengah menyampaikan ihwal relasi antara keberadaan dengan kelaziman

Misal, aliran air. Di manapun dan sampai kapan pun, selazimnya air selalu menempati atau mengalir ke tempat yang lebih rendah, membasahi sesuatu, dan menumbuhkan sesuatu. Ketika sedang sakit, kita tidak ingin terkena air, bahkan merasa terganggu dengannya. Dalam hal ini, keberadaan air merupakan sesuatu yang mudharat bagi orang yang sakit. Namun tatkala kita sedang haus, keberadaan air menjadi sangat bermanfaat bagi kita. Jadi, dalam hal ini, air memiliki kemaslahatan dan kemudharatan dalam hubungannya dengan sesuatu.

Ungkapan yang disampaikan Amirul Mikminin di atas pada dasarnya menceritakan tentang suatu keadaan dan kelaziman dari sebuah keberadaan. Artinya, setiap keberadaan pasti memiliki kelaziman, tidak terkecuali Allah Swt. 

Dalam pembahasan tauhid, dikatakan bahwa Allah Swt adalah Wajib al-Wujud bi al-Zat. Menurut kelaziman akal, Wajib al-Wujud bi al-Zat menjadikan Allah Swt itu Wujud Wâhidun bi al-Zat dan Ahadun bi al-Zat (Zat-Nya Wâhid dan Ahad). Tatkala akal menisbahkan bahwa keberadaan Allah Swt Wâhid dan Ahad, maka itu melazimkan Dirinya tak punya keperluan atau kepentingan terhadap selain-Nya. Sebab, hanya Dia-lah Wujud yang Wajib. Setiap Wajib-Nya adalah Ahadiah dan Wâhidiah-Nya. 

Dengan Ahadiah dan Wahidiah-Nya itulah, Allah Swt tidak memiliki keperluan terhadap selain-Nya. Karenanya, ini melazimkan suatu pemahaman lain bahwa Allah Swt itu al-Ghâni (maha kaya). Pada gilirannya, kemahakayaan Allah Swt yang tentunya bi al-Zat itu, melazimkan sesuatu yang lain; bahwa Allah Swt itu al-Mâlik, Pemilik hakiki segala sesuatu. Selain kepemilikan hakiki Allah Swt, kepemilikan lainnya adalah kepemilikan yang bersifat i’tibar (kepemilikan non-hakiki).

Dengan pemahaman bahwa Zat al-Ghâni adalah Allah Swt, di mana kepemilikannya bersifat hakiki, maka selain-Nya adalah mamluk (sesuatu yang dimiliki) di bawah kepemilikan yang sebenarnya. Tatkala akal melazimkan bahwa Allah Swt adalah Mâlik bil haqiqiyah, maka selain Allah adalah mamluk bil waqi’iyah, secara realitas, secara maujud, dan pada hakikat keberadaannya. Dengan demikian, akal melazimkan bahwa segenap yang ada dan melekat pada mamluk, pada hakikatnya adalah kosong (nihil) dari nilai keberadannya. Sebab, keberadaannya semata-mata dinisbahkan pada kepemilikan al-Mâlik. Ya, keberadaannya semata-mata milik Allah Swt.

Dengan proposisi bahwa keberadaan mamluk semata-mata milik al-Mâlik, maka terdapat sebuah kelaziman tentang adanya satu pemahaman bahwa al-Mâlik adalah al-Khaliq, atau Pencipta. Dalam hal ini, Dia adalah Wujud yang menciptakan keberadaan mahluk, sekaligus pemiliki keberadaan dan maujud mahluk. Karenanya, Dia lah al-Khaliq yang menciptakan adanya mamluk. 

Dengan memahami bahwa Allah Swt itu al-Khaliq, akan muncul dua bentuk pemahaman berkenaan dengan maksud penciptaan. Apakah penciptaan mamluk bersandar pada al-ghayah al-kamaliyah (tujuan kesempurnaan), atau pada shalahiyah-Nya (tujuan kemaslahatan dan kemudharatan)? Apa sebenarnya tujuan al-Khalik dalam mencipta mahluk-Nya?

Apakah tujuan penciptaan adalah kesempurnaan atau kemaslahatan, khususnya sewaktu kita memahami bahwa Allah Swt itu Wajib al-Wujud. Yang jelas, kalau kita kembali ke awal pembahasan, maka dapat ditegaskan bahwa Allah Swt mustahil mencipta mahluknya berdasarkan kemaslahatan. Mengapa? Sebab, setiap sesuatu yang dimaksudkan untuk kemaslahatan melazimkan banyaknya pertimbangan. Sedangkan sesuatu yang dimaksudkan untuk kesempurnaan berangkat dari satu pertimbangan. Dalam hal ini, sesuatu yang dimaksudkan untuk kemaslahatan amat bergantung pada sudut tinjaunya. Misal, Allah Swt menciptakan alam semesta ini. Lalu, Allah menjadikan hujan, yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya banjir. Peristiwa banjir bagi umat manusia yang dirugikan adalah sesuatu yang mudharat (tidak maslahat). Sebaliknya, bagi manusia yang memperoleh manfaat akan menganggap turunnya hujan sebagai sebuah maslahat. 
 
Jadi ketika kita berbicara tentang maslahat, banyak hal yang harus dijadikan pertimbangan. Ini berbeda dengan masalah kesempurnaan yang hanya bertolak tidak lebih dari satu pertimbangan yang sifatnya absolut. Dikarenakan Allah Swt itu Ahad dan Wâhid, maka mustahil Dia menciptakan sesuatu berdasarkan kemaslahatan. Allah Swt jelas-jelas mencipta berdasarkan kesempurnaan. Bila didasari kemaslahatan, niscaya tatanan tauhid akan cacat dan rusak.

Khaliqiyah adalah sifat perbuatan Allah Swt, bukan sifat zat-Nya. Lantas apa bedanya antara sifat zat dan sifat perbuatan? Dengan menyebutnya sifat zat, kita mengenali satu kesempurnaan yang diambil dari wujud Allah Swt, bukan menempatkannya pada Allah Swt. Kita mengenali sifat kesempurnaan dari wujud Allah Swt, sebagaimana kita mengenal adanya sifat terang yang kemudian dinisbahkan pada cahaya. Dalam hal ini, sifat zat (terang) itu dapat dimaknai lantaran keberadaan cahaya tersebut.

Adapun sifat perbuatan yang menimbulkan adanya ma’lul (akibat atau penderita), melazimkan munculnya pemahaman dalam akal tentang adanya sebuah perlakuan. Keberadaan ciptaan meniscayakan adanya pencipta, yang pada gilirannya melahirkan pemahaman tentang adanya perbuatan mencipta. Karena itu, sifat perbuatan Tuhan bukan melekat pada tuhan. Sifat perbuatan Tuhan itu melekat pada pemahaman manusia. Semua ini amat tergantung pada bagaimana kita menilai Tuhan dalam hal perbuatan-Nya, berdasarkan kemaslahatan atau kesempurnaan. Ini perlu diperhatikan baik-baik karena merupakan sebuah pendahuluan yang sangat penting.

Penilaian kita sebagai manusia yang berpijak di atas prinsip kemaslahatan penilaian dipastikan akan bernilai subjektif, bukan objektif. Adapun penilaian yang berpi di atas prinsip kesempurnaan, niscaya akan bernilai objektif. Sekarang, yang harus kita pahami lebih dulu adalah bagaimana Allah Swt bercerita tentang ciptaann-Nya. Baru setelah itu, kita memberikan nilai berdasarkan prinsip kesempurnaan terhadap ciptaan Allah Swt. Dalam konteks ini, Allah Swt mengatakan: Dia Allah yang menciptakan atau yang menjadikan segala sesuatu. Maka dari itu, apa pun yang Allah Swt ciptakan pasti baik, benar, dan indah.

Tatkala bercerita tentang seluruh mahluk-Nya, Allah Swt mengatakan bahwa seluruh keberadaan yang bersumber dari Allah Swt adalah baik belaka. Dalam hal ini, bila kita menimbang sesuatu (ciptaan Allah) berdasarkan itung-itungan manfaat atau tidaknya, maka kita tidak memberikan nilai kebaikan (pada ciptaan itu) secara hakiki. Berkenaan dengan wujudnya, sebilah pisau adalah baik. Lain hal kalau kita mempersoalkan manfaat dari pisau tersebut, yang belum tentu baik, alias bisa digunakan untuk keburukan.

Allah Swt mengatakan bahwa setiap yang Dia ciptakan dan wujudkan tidak berpijak di atas dua pertimbangan; allazî ahsana, yang Aku ciptakan itu ahsan (satu yang terbaik). Ya, Allah Swt menyatakan perihal semua mahluk-Nya yang diciptakan-Nya dengan satu penilaian. Dengan demikian, proses penciptaan bukanlah didasari oleh pertimbangan kemaslahatan. Sebab, nilai keberadaan-Nya hanyalah satu, yaitu baik semata. 

Namun bagaimana sewaktu Allah Swt mengatakan perihal mahluk-Nya yang khas, yaitu manusia: Allazî khalaqtu bi yada’i, yang Aku ciptakan dengan dua tangan (maksudnya, manusia diciptakan bukan dengan satu nilai, melainkan dengan dua nilai)?

Proses penciptaan alam semesta didasari oleh satu nilai, sebagaimana dikatakan Allah Swt: Allazî ahsana kulla syai’in khalaqah. Namun, penciptaan manusia justru didasari oleh dua nilai, sebagaimana dikatakan Allah Swt: Allazî khalaqtu bi yada’i. Dalam konteks tauhid, sekalipun Allah Swt memberikan contoh sesuatu yang berhubungan dengan Zat-Nya, namun itu bukanlah bentuk perbuatan Allah Swt.

Bertolak dari prinsip di atas, Allah Swt mencipta mahluk-Nya dengan satu kesempurnaan. Namun untuk mencipta manusia yang merupakan makhluk yang khas, Allah Swt menciptanya dengan dua kesempurnaan. Kesempurnaan ciptaan (manusia) yang dimaksud adalah, pertama, Jalaliyyah Allah Swt, dan kedua Jamaliyyah Allah Swt. Jalal berarti bahwa Allah Swt Mahapemaksa, Mahapenentu, Mahahakim, Mahakuasa, dan Maha Menyiksa. Sedangkan Jamal dimaksudkan bahwa Allah Swt itu Mahapengampun, Mahapengasih, Mahapenyabar, Mahakarim, dan Mahalembut.

Allah Swt mencipta manusia dengan sifat Jamaliyyah dan Jalaliyyah-Nya. Kedua sifat tersebut adalah juga sifat insan. Namun keduanya berbeda satu sama lain. Dengan sifat jamal, manusia itu pengasih bukan pemaksa, pengampun bukan penentu. Sedangkan sifat jalaliyyah justru sebaliknya. 
 
Sifat jamaliyyah merupakan sifat menerima (reseptif) dan pasif. Adapun sifat jalaliyyah bersifat aktif dan penentu. Dalam hal ini, kaum pria dianugerahi Allah Swt sifat jalaliyyah, sedangkan kaum wanita dianugerahi sifat jamaliyyah.

Dalam hal ini, baik sifat jamaliyyah maupun sifat jalaliyyah adalah manifestasi kesempurnaan Allah Swt dalam hal penciptaan. Namun, al-Quran membedakan sifat jamal dan jalal tersebut berdasarkan kriteria taklif yang dibebankan Allah Swt kepada manusia berdasarkan jenis kelamin (gender). Misal, Allah Swt mewajibkan kaum wanita untuk menutup dirinya dari kaum laki-laki, sementara itu juga Allah Swt mewajibkan kaum pria untuk memperhatikan kaum wanita. Semua beban kewajiban tersebut jelas berhubungan dengan sifat penciptaan masing-masing; sifat yang disandang kaum pria adalah jalaliyyah yang cenderung memiliki atau menguasai, sedangkan sifat yang disandang kaum wanita adalah jamaliyyah yang cenderung menerima (reseptif) sebuah penguasaan.

Karenanya, kewajiban syariat wanita dan pria dibedakan satu sama lain. Dan pemenuhan kewajiban syariat masing-masing akan dipandang sebagai bentuk kesempurnaan jamaliyyah Allah Swt yang patut mendapat pujian (untuk kaum wanita) dan jalaliyah Allah Swt yang layak ditakuti (untuk kaum pria). Dalam pada itu, sifat jamaliyyah akan senantiasa menyertakan raja’ (harapan), dan sifat jalaliyyah akan melahirkan khauf (rasa takut) kepada Allah Swt.

Jadi, sekali lagi, terdapat dua maujud yang berkenaan dengan penciptaan manusia; sifat jamaliyyah yang diwujudkan Allah Swt dalam diri kaum wanita, serta sifat jalaliyyah yang diwujudkan-Nya dalam diri kaum pria. Kalau pembahasan ini dihubungkan dengan jenis kecenderungan manusia, maka dapat dikatakan bahwa setiap tindak kecemburuan bernilai aktif dan lahir dari al-quwwah al-ghadabiyyah yang terdapat dalam diri manusia. Dalam hal ini, aktivisme merupakan ciri khas dari sifat jalaliyyah, bukan sifat jamaliyyah. Karena itu, ghirah semacam ini (kecemburuan) harus melekat pada jalal bukan jamal.

Dari sisi akhlak, Rasulullah saww pernah mengatakan, “Seorang isteri harus bertahan dalam menerima perlakuan suaminya.” Apakah hal ini diartikan bahwa kaum wanita tidak punya pembela? Tentunya tidak! Kaum wanita memiliki pembelaan secara syar’i (hukum). Islam memiliki syariat dan undang-undang. Akan tetapi, pembahasan kita kali ini berkenaan dengan bagaimana kemestian dari sifat jamaliyyah yang di ceritakan Amirul Mukminin.

Terdapat sebuah kisah tentang seorang tua yang akan menikahkan anaknya. Ia mengatakan, “Wahai anak-ku, jadilah engkau bagi suami-mu tempat berpijak”, coba kita sedikit berpikir, bahwa bumi ini adalah tempat yang rendah niscaya suami-mu akan menjadi langit sebagai perlindungan-mu, artinya adanya sifat pemaksa, adanya sifat ghadab, itu dapat dikalahkan oleh sifat gelisah, hanif yaitu keluh kesah. Allah Swt mengatakan: “Aku lebih menyayangi hambaku dari pada seorang ibu kepada anaknya”, artinya apapun yang kalian lakukan, ketika melakukan perlawanan kepada-Ku dengan cara bermaksiat, kalau kalian datang menghiba kepada-Ku, memohon ampunan kepada-Ku niscaya Aku akan murka-Ku ini runtuh, ghadabiyah ini runtuh dikarenakan oleh keluh kesah dengan kemanjaan bukan dengan ghadab, bukan dengan kecemburuan, niscaya kaum wanita akan menguasai semua kaum pria.

Inilah yang kemudian dimaksudkan dengan apabila kecemburuan lahir dari wanita, niscaya akan timbul kerusakan. Sebabnya, aspek psikis ini (kecemburuan) pada hakikatnya bukanlah milik kaum wanita, melainkan milik kaum pria. 

Orang-orang kafir yang ingin merusak tatanan tauhid, tatanan masyarakat yang islami, akan menjadikan kaum wanitanya kehilangan jati diri jamaliyyah-nya. Seraya itu, mereka memperkerdil dan melemahkan sifat jalaliyyah-nya kaum pria. Allah Swt mengatakan tentang Fir’aun: Yusâ bihunna. Dalam hal ini dikatakan bahwa Fir’aun menyuruh setiap anak laki-laki dibunuh, seraya pula merendahkan serta mempermalukan kaum wanitanya.

Ayat ini mengemukakan tentang sebuah fakta sejarah, di mana Fir’aun telah mengeluarkan perintah untuk membunuh setiap bayi lelaki yang lahir di muka bumi ini, serta memaksa kaum wanita Yahudi untuk menjadi selir atau dinikahi kaum lelaki Mesir. Namun, kisah yang dituturkan ayat tersebut tidak hanya sekadar kisah. Di baliknya, tersembunyi sebuah rahasia ideologis. Frasa: Yusâ bihunna, bukan hanya memiliki makna lahiriah saja, yaitu membunuh dengan pisau. Namun, juga memiliki makna ideologis yang yang jauh lebih berbahaya, yakni bagaimana membungkam, membunuh, dan melenyapkan sifat jalaliyyah dan sifat jamaliyyah yang terdapat dalam diri kaum pria dan wanita. Bila misi ideologi itu tercapai, niscaya kaum pria tidak lagi marah sewaktu melihat para wanitanya, isteri-isterinya, atau anak-anak perempuannya, memamerkan kecantikannya. Ya, dalam keadaan itu, ghirah cemburu mereka sama sekali tidak muncul. Saat itu pula, kaum wanitanya kehilangan rasa malu di hadapan kaum pria, sehingga dengan seenaknya membuka baju (penutup aurat) di hadapan pria. Yusâ bihunna…. Dalam keadaan inilah sifat jalaliyyah dalam diri kaum pria dan sifat jamaliyyah dalam diri kaum wanita telah lenyap tanpa bekas. Keharusan wanita untuk menundukan wajahnya di hadapan pria pun diabaikan. Bahkan, dengan bahasa yang vulgar, mereka berani mengatakan, “Anda (kaum wanita) tak perlu malu di hadapan kaum laki-laki. Paculah diri Anda untuk bersaing dengan mereka (kaum pria).”

Muncul pertanyaan dalam benak kita, apakah maksud Allah Swt menganugerahkan sifat jalaliyyah dan jamaliyyah-Nya agar terjadi persaingan di antara kaum pria dan wanita? Tidak! Sifat jalaliyyah dan jamaliyyah bukanlah dua sifat yang dianugerahkan Allah untuk dibenturkan satu sama lain. Namun, kedua sifat agung tersebut merupakan sebuah kesatuan integral. Dalam konteks ini, kaum wanita berkiprah sesuai dengan fungsinya (dalam kerangka jamaliyyah-nya). Sementara kaum laki-laki juga berkiprah menurut fungsinya (dalam kerangka jalaliyyah-nya). Kekuatan apapun di muka bumi ini tak akan mampu mengalahkan mereka yang menjalankan fungsi sesuai dengan kodrat penciptaannya. Akan tetapi, bila kaum wanita mulai mengenakan jubah penciptaan kaum laki-laki, niscaya dalam sekejap, tatanan tauhid ini akan porak-poranda.

Inilah sebabnya, mengapa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sampai mengatakan bahwa pabila kaum wanita menyandang girah (semangat) kaum lelaki (yakni kecemburuan), niscaya akan timbul kerusakan dan kekufuran. Namun, bila ghirah kecemburuan itu disandang dan difungsikan kaum lelaki, niscaya akan terlahir keimanan.

Ghirah al-rajul adalah semangat jalaliyyah. Maksud dari konsep ini bukanlah semata-mata menunjuk hidung seseorang seraya mengatakan, “si fulan itu berjenis kelamin pria.” Bukan! Namun, dimaksudkan sebagai sosok manusia yang diciptakan berdasarkan Jalaliyyah Allah Swt. Wanita adalah aroma (kuntum bunga), tempat kaum pria mencurahkan perhatian, perlindungan, santunan, kasih, dan sayang. Dalam hal ini, kaum pria tidak dibenarkan memaksakan kehendaknya. Sebab, paksaan merupakan salah satu elemen dari sifat jamaliyyah yang harus difungsikan kaum wanita; sifat mana yang menjadikan kaum wanita memiliki senjata yang luar biasa dahsyatnya guna menundukan keperkasaan dan amarah (jalaliyyah al-ghadhabiyah) kaum lelaki

Penulis: Ustadz Abdullah Assegaf

0 komentar:

Posting Komentar