TERDAPAT sebuah ungkapan dari Amirul Mukminin Imam Ali Abi Thalib yang seolah-olah memojokan kaum wanita dan meninggikan derajat kaum pria, “Jirâtul rijal minal îman, wa jîratul mar’ah kuffur” (kecemburuan pria adalah iman, sedang kecemburuan wanita adalah kekufuran).
Kalau ditilik secara harfiah,
ucapan Amirul Mukminin itu memang terkesan menyudutkan kaum wanita;
setiap wanita yang tindakannya berpijak di atas sikap cemburu akan
berakibat pada kekufuran; sebaliknya, kecemburuan seorang lelaki
merupakan bagian dari keimanan. Bila keberadaan pria dan wanita ditinjau
dari sudut pandangan dunia, kita akan mengetahui bahwasanya Amirul
Mukminin tengah menyampaikan ihwal relasi antara keberadaan dengan kelaziman.
Misal, aliran air. Di manapun
dan sampai kapan pun, selazimnya air selalu menempati atau mengalir ke
tempat yang lebih rendah, membasahi sesuatu, dan menumbuhkan sesuatu.
Ketika sedang sakit, kita tidak ingin terkena air, bahkan merasa
terganggu dengannya. Dalam hal ini, keberadaan air merupakan sesuatu
yang mudharat bagi orang yang sakit. Namun tatkala kita sedang haus,
keberadaan air menjadi sangat bermanfaat bagi kita. Jadi, dalam hal ini,
air memiliki kemaslahatan dan kemudharatan dalam hubungannya dengan
sesuatu.
Ungkapan yang disampaikan Amirul
Mikminin di atas pada dasarnya menceritakan tentang suatu keadaan dan
kelaziman dari sebuah keberadaan. Artinya, setiap keberadaan pasti
memiliki kelaziman, tidak terkecuali Allah Swt.
Dalam pembahasan tauhid, dikatakan bahwa Allah Swt adalah Wajib al-Wujud bi al-Zat. Menurut kelaziman akal, Wajib al-Wujud bi al-Zat menjadikan Allah Swt itu Wujud Wâhidun bi al-Zat dan Ahadun bi al-Zat (Zat-Nya Wâhid dan Ahad). Tatkala akal menisbahkan bahwa keberadaan Allah Swt Wâhid dan Ahad, maka itu melazimkan Dirinya tak punya keperluan atau kepentingan terhadap selain-Nya. Sebab, hanya Dia-lah Wujud yang Wajib. Setiap Wajib-Nya adalah Ahadiah dan Wâhidiah-Nya.
Dengan Ahadiah dan Wahidiah-Nya
itulah, Allah Swt tidak memiliki keperluan terhadap selain-Nya.
Karenanya, ini melazimkan suatu pemahaman lain bahwa Allah Swt itu al-Ghâni (maha kaya). Pada gilirannya, kemahakayaan Allah Swt yang tentunya bi al-Zat itu, melazimkan sesuatu yang lain; bahwa Allah Swt itu al-Mâlik, Pemilik hakiki segala sesuatu. Selain kepemilikan hakiki Allah Swt, kepemilikan lainnya adalah kepemilikan yang bersifat i’tibar (kepemilikan non-hakiki).
Dengan pemahaman bahwa Zat al-Ghâni adalah Allah Swt, di mana kepemilikannya bersifat hakiki, maka selain-Nya adalah mamluk (sesuatu yang dimiliki) di bawah kepemilikan yang sebenarnya. Tatkala akal melazimkan bahwa Allah Swt adalah Mâlik bil haqiqiyah, maka selain Allah adalah mamluk bil waqi’iyah,
secara realitas, secara maujud, dan pada hakikat keberadaannya. Dengan
demikian, akal melazimkan bahwa segenap yang ada dan melekat pada mamluk, pada hakikatnya adalah kosong (nihil) dari nilai keberadannya. Sebab, keberadaannya semata-mata dinisbahkan pada kepemilikan al-Mâlik. Ya, keberadaannya semata-mata milik Allah Swt.
Dengan proposisi bahwa keberadaan mamluk semata-mata milik al-Mâlik, maka terdapat sebuah kelaziman tentang adanya satu pemahaman bahwa al-Mâlik adalah al-Khaliq,
atau Pencipta. Dalam hal ini, Dia adalah Wujud yang menciptakan
keberadaan mahluk, sekaligus pemiliki keberadaan dan maujud mahluk.
Karenanya, Dia lah al-Khaliq yang menciptakan adanya mamluk.
Dengan memahami bahwa Allah Swt itu al-Khaliq, akan muncul dua bentuk pemahaman berkenaan dengan maksud penciptaan. Apakah penciptaan mamluk bersandar pada al-ghayah al-kamaliyah (tujuan kesempurnaan), atau pada shalahiyah-Nya (tujuan kemaslahatan dan kemudharatan)? Apa sebenarnya tujuan al-Khalik dalam mencipta mahluk-Nya?
Apakah tujuan penciptaan adalah kesempurnaan atau kemaslahatan, khususnya sewaktu kita memahami bahwa Allah Swt itu Wajib al-Wujud.
Yang jelas, kalau kita kembali ke awal pembahasan, maka dapat
ditegaskan bahwa Allah Swt mustahil mencipta mahluknya berdasarkan
kemaslahatan. Mengapa? Sebab, setiap sesuatu yang dimaksudkan untuk
kemaslahatan melazimkan banyaknya pertimbangan. Sedangkan sesuatu yang
dimaksudkan untuk kesempurnaan berangkat dari satu pertimbangan. Dalam
hal ini, sesuatu yang dimaksudkan untuk kemaslahatan amat bergantung
pada sudut tinjaunya. Misal, Allah Swt menciptakan alam semesta ini.
Lalu, Allah menjadikan hujan, yang pada gilirannya memungkinkan
terjadinya banjir. Peristiwa banjir bagi umat manusia yang dirugikan
adalah sesuatu yang mudharat (tidak maslahat). Sebaliknya, bagi manusia
yang memperoleh manfaat akan menganggap turunnya hujan sebagai sebuah
maslahat.
Jadi ketika kita berbicara tentang
maslahat, banyak hal yang harus dijadikan pertimbangan. Ini berbeda
dengan masalah kesempurnaan yang hanya bertolak tidak lebih dari satu
pertimbangan yang sifatnya absolut. Dikarenakan Allah Swt itu Ahad dan Wâhid,
maka mustahil Dia menciptakan sesuatu berdasarkan kemaslahatan. Allah
Swt jelas-jelas mencipta berdasarkan kesempurnaan. Bila didasari
kemaslahatan, niscaya tatanan tauhid akan cacat dan rusak.
Khaliqiyah adalah sifat
perbuatan Allah Swt, bukan sifat zat-Nya. Lantas apa bedanya antara
sifat zat dan sifat perbuatan? Dengan menyebutnya sifat zat, kita
mengenali satu kesempurnaan yang diambil dari wujud Allah Swt, bukan
menempatkannya pada Allah Swt. Kita mengenali sifat kesempurnaan dari
wujud Allah Swt, sebagaimana kita mengenal adanya sifat terang yang
kemudian dinisbahkan pada cahaya. Dalam hal ini, sifat zat (terang) itu
dapat dimaknai lantaran keberadaan cahaya tersebut.
Adapun sifat perbuatan yang menimbulkan adanya ma’lul
(akibat atau penderita), melazimkan munculnya pemahaman dalam akal
tentang adanya sebuah perlakuan. Keberadaan ciptaan meniscayakan adanya
pencipta, yang pada gilirannya melahirkan pemahaman tentang adanya
perbuatan mencipta. Karena itu, sifat perbuatan Tuhan bukan melekat pada
tuhan. Sifat perbuatan Tuhan itu melekat pada pemahaman manusia. Semua
ini amat tergantung pada bagaimana kita menilai Tuhan dalam hal
perbuatan-Nya, berdasarkan kemaslahatan atau kesempurnaan. Ini perlu
diperhatikan baik-baik karena merupakan sebuah pendahuluan yang sangat
penting.
Penilaian kita sebagai manusia
yang berpijak di atas prinsip kemaslahatan penilaian dipastikan akan
bernilai subjektif, bukan objektif. Adapun penilaian yang berpi di atas
prinsip kesempurnaan, niscaya akan bernilai objektif. Sekarang, yang
harus kita pahami lebih dulu adalah bagaimana Allah Swt bercerita
tentang ciptaann-Nya. Baru setelah itu, kita memberikan nilai
berdasarkan prinsip kesempurnaan terhadap ciptaan Allah Swt. Dalam
konteks ini, Allah Swt mengatakan: Dia Allah yang menciptakan atau yang
menjadikan segala sesuatu. Maka dari itu, apa pun yang Allah Swt
ciptakan pasti baik, benar, dan indah.
Tatkala bercerita tentang
seluruh mahluk-Nya, Allah Swt mengatakan bahwa seluruh keberadaan yang
bersumber dari Allah Swt adalah baik belaka. Dalam hal ini, bila kita
menimbang sesuatu (ciptaan Allah) berdasarkan itung-itungan manfaat atau
tidaknya, maka kita tidak memberikan nilai kebaikan (pada ciptaan itu)
secara hakiki. Berkenaan dengan wujudnya, sebilah pisau adalah baik.
Lain hal kalau kita mempersoalkan manfaat dari pisau tersebut, yang
belum tentu baik, alias bisa digunakan untuk keburukan.
Allah Swt mengatakan bahwa setiap yang Dia ciptakan dan wujudkan tidak berpijak di atas dua pertimbangan; allazî ahsana, yang Aku ciptakan itu ahsan (satu
yang terbaik). Ya, Allah Swt menyatakan perihal semua mahluk-Nya yang
diciptakan-Nya dengan satu penilaian. Dengan demikian, proses penciptaan
bukanlah didasari oleh pertimbangan kemaslahatan. Sebab, nilai
keberadaan-Nya hanyalah satu, yaitu baik semata.
Namun bagaimana sewaktu Allah Swt mengatakan perihal mahluk-Nya yang khas, yaitu manusia: Allazî khalaqtu bi yada’i, yang Aku ciptakan dengan dua tangan (maksudnya, manusia diciptakan bukan dengan satu nilai, melainkan dengan dua nilai)?
Proses penciptaan alam semesta didasari oleh satu nilai, sebagaimana dikatakan Allah Swt: Allazî ahsana kulla syai’in khalaqah. Namun, penciptaan manusia justru didasari oleh dua nilai, sebagaimana dikatakan Allah Swt: Allazî khalaqtu bi yada’i.
Dalam konteks tauhid, sekalipun Allah Swt memberikan contoh sesuatu
yang berhubungan dengan Zat-Nya, namun itu bukanlah bentuk perbuatan
Allah Swt.
Bertolak dari prinsip di atas,
Allah Swt mencipta mahluk-Nya dengan satu kesempurnaan. Namun untuk
mencipta manusia yang merupakan makhluk yang khas, Allah Swt menciptanya
dengan dua kesempurnaan. Kesempurnaan ciptaan (manusia) yang dimaksud
adalah, pertama, Jalaliyyah Allah Swt, dan kedua Jamaliyyah Allah Swt. Jalal berarti bahwa Allah Swt Mahapemaksa, Mahapenentu, Mahahakim, Mahakuasa, dan Maha Menyiksa. Sedangkan Jamal dimaksudkan bahwa Allah Swt itu Mahapengampun, Mahapengasih, Mahapenyabar, Mahakarim, dan Mahalembut.
Allah Swt mencipta manusia dengan sifat Jamaliyyah dan Jalaliyyah-Nya. Kedua sifat tersebut adalah juga sifat insan. Namun keduanya berbeda satu sama lain. Dengan sifat jamal, manusia itu pengasih bukan pemaksa, pengampun bukan penentu. Sedangkan sifat jalaliyyah justru sebaliknya.
Sifat jamaliyyah merupakan sifat menerima (reseptif) dan pasif. Adapun sifat jalaliyyah bersifat aktif dan penentu. Dalam hal ini, kaum pria dianugerahi Allah Swt sifat jalaliyyah, sedangkan kaum wanita dianugerahi sifat jamaliyyah.
Dalam hal ini, baik sifat jamaliyyah maupun sifat jalaliyyah adalah
manifestasi kesempurnaan Allah Swt dalam hal penciptaan. Namun,
al-Quran membedakan sifat jamal dan jalal tersebut berdasarkan kriteria
taklif yang dibebankan Allah Swt kepada manusia berdasarkan jenis
kelamin (gender). Misal, Allah Swt mewajibkan kaum wanita untuk menutup
dirinya dari kaum laki-laki, sementara itu juga Allah Swt mewajibkan
kaum pria untuk memperhatikan kaum wanita. Semua beban kewajiban
tersebut jelas berhubungan dengan sifat penciptaan masing-masing; sifat
yang disandang kaum pria adalah jalaliyyah yang cenderung memiliki atau menguasai, sedangkan sifat yang disandang kaum wanita adalah jamaliyyah yang cenderung menerima (reseptif) sebuah penguasaan.
Karenanya, kewajiban syariat
wanita dan pria dibedakan satu sama lain. Dan pemenuhan kewajiban
syariat masing-masing akan dipandang sebagai bentuk kesempurnaan jamaliyyah Allah Swt yang patut mendapat pujian (untuk kaum wanita) dan jalaliyah Allah Swt yang layak ditakuti (untuk kaum pria). Dalam pada itu, sifat jamaliyyah akan senantiasa menyertakan raja’ (harapan), dan sifat jalaliyyah akan melahirkan khauf (rasa takut) kepada Allah Swt.
Jadi, sekali lagi, terdapat dua maujud yang berkenaan dengan penciptaan manusia; sifat jamaliyyah yang diwujudkan Allah Swt dalam diri kaum wanita, serta sifat jalaliyyah yang
diwujudkan-Nya dalam diri kaum pria. Kalau pembahasan ini dihubungkan
dengan jenis kecenderungan manusia, maka dapat dikatakan bahwa setiap
tindak kecemburuan bernilai aktif dan lahir dari al-quwwah al-ghadabiyyah yang terdapat dalam diri manusia. Dalam hal ini, aktivisme merupakan ciri khas dari sifat jalaliyyah, bukan sifat jamaliyyah. Karena itu, ghirah semacam ini (kecemburuan) harus melekat pada jalal bukan jamal.
Dari sisi akhlak, Rasulullah saww pernah mengatakan, “Seorang isteri harus bertahan dalam menerima perlakuan suaminya.” Apakah hal ini diartikan bahwa kaum wanita tidak punya pembela? Tentunya tidak! Kaum wanita memiliki pembelaan secara syar’i
(hukum). Islam memiliki syariat dan undang-undang. Akan tetapi,
pembahasan kita kali ini berkenaan dengan bagaimana kemestian dari sifat
jamaliyyah yang di ceritakan Amirul Mukminin.
Terdapat sebuah kisah tentang seorang tua yang akan menikahkan anaknya. Ia mengatakan, “Wahai anak-ku, jadilah engkau bagi suami-mu tempat berpijak”,
coba kita sedikit berpikir, bahwa bumi ini adalah tempat yang rendah
niscaya suami-mu akan menjadi langit sebagai perlindungan-mu, artinya
adanya sifat pemaksa, adanya sifat ghadab, itu dapat dikalahkan oleh sifat gelisah, hanif yaitu keluh kesah. Allah Swt mengatakan: “Aku lebih menyayangi hambaku dari pada seorang ibu kepada anaknya”,
artinya apapun yang kalian lakukan, ketika melakukan perlawanan
kepada-Ku dengan cara bermaksiat, kalau kalian datang menghiba
kepada-Ku, memohon ampunan kepada-Ku niscaya Aku akan murka-Ku ini
runtuh, ghadabiyah ini runtuh dikarenakan oleh keluh kesah dengan kemanjaan bukan dengan ghadab, bukan dengan kecemburuan, niscaya kaum wanita akan menguasai semua kaum pria.
Inilah yang kemudian dimaksudkan
dengan apabila kecemburuan lahir dari wanita, niscaya akan timbul
kerusakan. Sebabnya, aspek psikis ini (kecemburuan) pada hakikatnya
bukanlah milik kaum wanita, melainkan milik kaum pria.
Orang-orang kafir yang ingin
merusak tatanan tauhid, tatanan masyarakat yang islami, akan menjadikan
kaum wanitanya kehilangan jati diri jamaliyyah-nya. Seraya itu, mereka memperkerdil dan melemahkan sifat jalaliyyah-nya kaum pria. Allah Swt mengatakan tentang Fir’aun: Yusâ bihunna.
Dalam hal ini dikatakan bahwa Fir’aun menyuruh setiap anak laki-laki
dibunuh, seraya pula merendahkan serta mempermalukan kaum wanitanya.
Ayat ini mengemukakan tentang
sebuah fakta sejarah, di mana Fir’aun telah mengeluarkan perintah untuk
membunuh setiap bayi lelaki yang lahir di muka bumi ini, serta
memaksa kaum wanita Yahudi untuk menjadi selir atau dinikahi kaum lelaki
Mesir. Namun, kisah yang dituturkan ayat tersebut tidak hanya sekadar
kisah. Di baliknya, tersembunyi sebuah rahasia ideologis. Frasa: Yusâ bihunna,
bukan hanya memiliki makna lahiriah saja, yaitu membunuh dengan pisau.
Namun, juga memiliki makna ideologis yang yang jauh lebih berbahaya,
yakni bagaimana membungkam, membunuh, dan melenyapkan sifat jalaliyyah dan sifat jamaliyyah yang
terdapat dalam diri kaum pria dan wanita. Bila misi ideologi itu
tercapai, niscaya kaum pria tidak lagi marah sewaktu melihat para
wanitanya, isteri-isterinya, atau anak-anak perempuannya, memamerkan
kecantikannya. Ya, dalam keadaan itu, ghirah cemburu mereka sama sekali
tidak muncul. Saat itu pula, kaum wanitanya kehilangan rasa malu di
hadapan kaum pria, sehingga dengan seenaknya membuka baju (penutup
aurat) di hadapan pria. Yusâ bihunna…. Dalam keadaan inilah sifat jalaliyyah dalam diri kaum pria dan sifat jamaliyyah dalam
diri kaum wanita telah lenyap tanpa bekas. Keharusan wanita untuk
menundukan wajahnya di hadapan pria pun diabaikan. Bahkan, dengan bahasa
yang vulgar, mereka berani mengatakan, “Anda (kaum wanita) tak perlu
malu di hadapan kaum laki-laki. Paculah diri Anda untuk bersaing dengan
mereka (kaum pria).”
Muncul pertanyaan dalam benak kita, apakah maksud Allah Swt menganugerahkan sifat jalaliyyah dan jamaliyyah-Nya agar terjadi persaingan di antara kaum pria dan wanita? Tidak! Sifat jalaliyyah dan jamaliyyah bukanlah
dua sifat yang dianugerahkan Allah untuk dibenturkan satu sama lain.
Namun, kedua sifat agung tersebut merupakan sebuah kesatuan integral.
Dalam konteks ini, kaum wanita berkiprah sesuai dengan fungsinya (dalam
kerangka jamaliyyah-nya). Sementara kaum laki-laki juga berkiprah menurut fungsinya (dalam kerangka jalaliyyah-nya).
Kekuatan apapun di muka bumi ini tak akan mampu mengalahkan mereka yang
menjalankan fungsi sesuai dengan kodrat penciptaannya. Akan tetapi,
bila kaum wanita mulai mengenakan jubah penciptaan kaum laki-laki,
niscaya dalam sekejap, tatanan tauhid ini akan porak-poranda.
Inilah sebabnya, mengapa Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib sampai mengatakan bahwa pabila kaum wanita
menyandang girah (semangat) kaum lelaki (yakni kecemburuan), niscaya
akan timbul kerusakan dan kekufuran. Namun, bila ghirah kecemburuan itu disandang dan difungsikan kaum lelaki, niscaya akan terlahir keimanan.
Ghirah al-rajul adalah semangat jalaliyyah. Maksud dari konsep ini bukanlah semata-mata menunjuk hidung seseorang seraya mengatakan, “si fulan itu berjenis kelamin pria.” Bukan! Namun, dimaksudkan sebagai sosok manusia yang diciptakan berdasarkan Jalaliyyah Allah
Swt. Wanita adalah aroma (kuntum bunga), tempat kaum pria mencurahkan
perhatian, perlindungan, santunan, kasih, dan sayang. Dalam hal ini,
kaum pria tidak dibenarkan memaksakan kehendaknya. Sebab, paksaan
merupakan salah satu elemen dari sifat jamaliyyah yang harus
difungsikan kaum wanita; sifat mana yang menjadikan kaum wanita memiliki
senjata yang luar biasa dahsyatnya guna menundukan keperkasaan dan
amarah (jalaliyyah al-ghadhabiyah) kaum lelaki
Penulis: Ustadz Abdullah Assegaf
0 komentar:
Posting Komentar